Putu Setia
@mpujayaprema
Hari ini adalah hari lahirnya Raden Ajeng Kartini. Kalau saja beliau masih ada, hari ini perayaan ulang tahunnya yang ke-134. Tentu jarang orang berusia lanjut seperti itu. Justru Kartini meninggal pada usia muda, 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putranya.
Kartini kini menjadi legenda. Kalau saja hari ini bukan Minggu, dipastikan sejumlah karyawan wanita akan mengenakan "pakaian nasional" ke kantor. Kebaya, kain, sanggul. Begitu melegendanya pahlawan emansipasi wanita ini, "Ibu Kita Kartini" bukan lagi nama, melainkan simbol perjuangan wanita. Guyonan pun sering terjadi: "Siapa nama asli Ibu Kita Kartini?" Jika yang ditanya melongo, maka ini jawabannya: "Namanya Harum." Dan jika yang melongo tadi tambah bingung, yang bertanya itu pun langsung menyanyi: "Ibu kita Kartini, harum namanya..."
Seberapa banyak wanita Indonesia yang tidak mengaitkan Kartini dengan kebaya? Seberapa banyak orang tak mengaitkan Kartini dengan surat-menyurat? Tak banyak. Kartini adalah kebaya itu sendiri, perjuangan Kartini adalah surat-suratnya itu, yang termuat dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Lihat di sekitar kita sekarang. Ada lomba berkebaya dan bersanggul. Atau lomba menulis surat ala Kartini. Padahal Kartini dengan kebayanya itu adalah gadis Jawa yang terbelenggu oleh adat dan harus dipingit begitu menginjak remaja pada umur kurang dari 13 tahun. Kartini menulis surat karena hanya itu cara dia melampiaskan gejolak hatinya. Untung ayahnya bupati, sehingga ia punya banyak teman. Artinya, Kartini orang yang cerdas. Ia berjuang mendobrak kungkungan adat. Ia berjuang melawan "kebaya".
Perlawanan terhadap tradisi adat yang mengurung kaum perempuan inilah yang semestinya ditonjolkan dalam memperingati Hari Kartini. Bukan berkebaya atau menyanyikan "ibu kita Kartini, harum namanya". Di sekeliling kita masih banyak wanita yang dipoligami, bahkan ada lelaki yang sampai punya delapan istri--dan uniknya jadi selebritas. Pun masih marak perdagangan wanita, termasuk wanita yang dijadikan obyek gratifikasi oleh mereka yang seharusnya bermartabat. Kenapa ormas perempuan tak ada yang bersuara soal ini?
Kartini barangkali menangis saat ini kalau dia masih ada. Perempuan di negeri ini masih menjadi "penggenap" dan "pemanis". Kuota perempuan harus ada 30 persen di daftar calon legislatif, tak peduli bagaimana partai mendapatkan angka itu. Kabinet harus punya menteri yang mengurusi peranan wanita, tak peduli apa yang diurusnya sudah benar atau tidak. Karena hanya "penggenap" dan dalam beberapa hal hanya "pemanis", yang menentukan siapa jadi "penggenap" dan "pemanis" itu kebanyakan laki-laki. Lelaki memang tetap hebat.
Emansipasi yang diperjuangkan Kartini lebih bermutu daripada itu karena menempatkan wanita sejajar dengan lelaki. Sayang, Kartini lahir di zaman kolonial, dalam situasi yang sulit segalanya. Ia tak bisa menghimpun jaringan lebih luas. Ia melejit sendiri dan hanya bisa membuat sekolah untuk kaum wanita dalam skala kecil. Akhirnya, zaman pula yang "membunuh" Kartini dengan segala idenya. Ia justru takluk oleh adat yang kolot itu, ia dipoligami. Ia dikalahkan oleh "kebaya".
Penerus Kartini sekarang tentu punya kesempatan lebih untuk berjuang menegakkan emansipasi. Perjuangan itu bisa diteriakkan dengan lantang lewat berbagai kemajuan komunikasi. Kartini hanya bisa menulis surat pakai tangan untuk memperjuangkan idenya, karena di era dia belum ada e-mail, Facebook, maupun Twitter. Masak, Kartini sekarang hanya ngerumpi lewat media komunikasi yang canggih itu?