Imam Anshori Saleh, Pengamat hukum
Saat Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dilanda konflik kepengurusan, mahkamah partai politik tiba-tiba menjadi pusat perhatian dan tempat berharap. Memang, secara teoretis, mahkamah partai memiliki posisi strategis. Keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Partai Politik. Pengadilan selalu menolak mengadili konflik kepengurusan partai bila belum diadili oleh mahkamah partai. Keputusan institusi itu disebut secara eksplisit dalam UU Partai Politik bersifat final and binding, terakhir dan mengikat. Kenyataannya, mahkamah partai, dalam bahasa pesantren, menjadi wujuduhu kaadamih, adanya seperti tiada. Mengapa demikian?
Keberadaan mahkamah partai diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, khususnya Pasal 32. Partai bisa dan boleh memberi nama lain untuk lembaga mahkamah partai. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, memberi nama Majelis Tahkim. Yang penting, susunan mahkamah disampaikan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Perselisihan partai bukan hanya konflik pimpinan, tapi juga masalah lain. Penjelasan Pasal 32 (1) menyatakan perselisihan partai politik meliputi perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota partai, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan keberatan terhadap keputusan partai. Tapi yang paling "seksi" saat ini adalah perselisihan yang berkaitan dengan kepengurusan.
Dalam banyak putusan berkembang yurisprudensi bahwa penyelesaian perselisihan partai harus diselesaikan terlebih dulu lewat mahkamah partai. Salah satunya putusan Mahkamah Agung Nomor 101K/Pdt.Sus-Parpol/2014, yakni perselisihan para pengurus Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) di Jawa Timur. Perkara ini sampai ke Mahkamah Agung. MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bondowoso dan mengadili sendiri. Salah satu pertimbangan majelis kasasi adalah tidak digunakannya mekanisme mahkamah partai. "Terbukti penyelesaian melalui mahkamah partai belum dilaksanakan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Partai tidak dimungkinkan melakukan gugatan ke pengadilan," begitu antara lain pertimbangan majelis. "Disebabkan belum ada putusan melalui mahkamah partai politik, maka gugatan tersebut adalah prematur."
Argumen senada ditemukan dalam putusan lain. Majelis hakim yang mengadili perselisihan partai melihat dulu apakah mekanisme mahkamah partai sudah ditempuh atau belum. Jika belum, hakim selalu menyatakan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Pasal 32 ayat (5) secara eksplisit menyebutkan putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Artinya, putusan itu tidak bisa diajukan upaya hukum atau keberatan lagi. Cuma, masalahnya, Pasal 33 masih memberi ruang kepada para pihak menuju pengadilan, jauh dari final and binding. Inilah anehnya. Undang-undang tersebut mempunyai makna ganda, antara pasal satu dan pasal lain berbeda, bahkan makna pasal yang satu menegasikan makna pasal lainnya. Selain itu, pengaturan mahkamah partai dalam undang-undang tersebut sangat singkat, kurang mendetail.
Mahkamah partai beranggotakan tokoh-tokoh senior partai. Ada kemungkinan sebagian atau semua anggota mahkamah terlibat mendukung pengurus yang bersengketa. Mahkamah partai dipilih dan diangkat oleh pimpinan partai dari kader-kader partai. Pimpinan partai bebas mengangkat "hakim-hakim" di mahkamah partai. Ini membuka kemungkinan pimpinan partai memilih anggota mahkamah partai sesuai dengan selera pimpinan. Belum tentu kader yang dipilih mempunyai kapasitas sebagai "hakim" karena syarat menjadi hakim secara umum itu berat.
Undang-undang hanya menyebut perlunya mahkamah partai dan kewenangan yang dimilikinya tanpa mengatur persyaratan dan hukum acaranya. Artinya, semuanya diserahkan kepada mekanisme partai. Bisa jadi ada partai yang membentuk mahkamah partai tanpa menentukan persyaratan hakim-hakimnya.
Dalam kondisi seperti ini, tidak ada gunanya berharap banyak terhadap mahkamah partai. Dia tidak akan pernah dapat menyelesaikan secara tuntas konflik kepengurusan di partai selama pihak-pihak yang kalah bersengketa masih memiliki ambisi untuk menang. Apalagi kalau keberadaan partai politik masih harus bergantung pada pengakuan pemerintah seperti saat ini.
Institusi itu baru dapat diharapkan berfungsi dengan baik bila ada perbaikan undang-undang, yang, antara lain, mengatur mekanisme pembentukan mahkamah berikut hukum acaranya. Seyogianya mahkamah partai tidak dibentuk oleh pimpinan partai, tapi dipilih oleh kongres, muktamar, atau musyawarah nasional partai dengan memperhatikan keterwakilan daerah dan faksi yang ada dalam partai.
Putusan mahkamah partai harus benar-benar terakhir dan mengikat. Negara, melalui lembaga yudikatif atau eksekutif, hanya mengukuhkan putusan mahkamah partai. Dengan demikian, partai politik benar-benar berdaulat dan berwibawa. Keberadaannya tidak bergantung pada pemerintah seperti saat ini. Hal ini juga mengurangi berlarut-larutnya penyelesaian konflik kepengurusan partai.