Ade Armando, Mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia
Kegaduhan terjadi dalam dunia penyiaran Indonesia. Pemimpin Komisi I (bidang penyiaran) Dewan Perwakilan Rakyat dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menuduh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah bertindak melampaui wewenangnya, melanggar Undang-Undang Penyiaran, dan mengancam keberadaan stasiun televisi swasta.
Tuduhan itu dilontarkan oleh Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya, dan Ketua ATVSI Ishadi SK. Mereka mempersoalkan langkah KPI mengundang masukan dan catatan dari masyarakat yang akan digunakan untuk evaluasi 10 stasiun televisi terbesar di Indonesia yang harus memperpanjang izin siarannya pada Oktober 2016. Menurut mereka, tindakan mengundang masukan masyarakat tersebut tidak ada dalam UU Penyiaran dan karena itu harus dilihat sebagai tindakan ilegal dan bertentangan dengan hukum. Mereka bahkan menyebutkan soal perizinan adalah urusan pemerintah, bukan KPI.
Tuduhan itu sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengacu pada UU Penyiaran, KPI berhak sepenuhnya menerima masukan dari masyarakat (Pasal 8) dan memang pihak yang harus terlibat dalam proses pemberian izin penyiaran (Pasal 33).
Kita mulai dengan logika perizinan lembaga penyiaran. Stasiun televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi siaran, yang merupakan sumber daya alam yang tersedia bebas namun jumlahnya terbatas. Pemiliknya, dalam perspektif masyarakat demokratis, adalah rakyat. Karena itu, pemanfaatannya memang harus selalu mempertimbangkan kepentingan rakyat dalam prioritas tertinggi.
Masalahnya, karena jumlahnya terbatas, tidak semua pihak bisa menggunakannya. Dalam sistem penyiaran analog, jumlah pihak yang bisa menggunakan frekuensi siaran untuk televisi dalam sebuah wilayah hanya maksimal sekitar 14-15.
Karena itu, harus ada pihak yang menentukan alokasi frekuensi. Dengan bahasa lebih sederhana, harus ada lembaga yang memiliki otoritas untuk menentukan lembaga penyiaran mana yang memperoleh frekuensi dan mana yang tidak. Dalam konteks itulah, di Indonesia dikenal Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang harus dikeluarkan lembaga otoritas penyiaran.
IPP ini pun tidak bersifat permanen. Di Indonesia, bagi stasiun televisi, IPP berlaku selama 10 tahun dan untuk radio lima tahun. Bila ternyata lembaga penyiaran menyalahgunakan kepercayaan yang diperolehnya, IPP stasiun tersebut bisa saja tak diperpanjang, atau bahkan dicabut di tengah jalan.
Cara menata penyiaran semacam ini berlaku di seluruh negara yang demokratis. Di Amerika serikat, lembaga yang memberikan IPP adalah Federal Communications Commission (FCC). Di Indonesia, kewenangan pemberian IPP dipegang dua lembaga: Kementerian Komunikasi dan Informatika serta KPI.
Sebelum lahirnya UU Penyiaran pada 2002, izin penyiaran diberikan dengan cara tertutup. Lima stasiun televisi pertama (RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV) memperoleh izin karena restu Presiden Soeharto. Pemberian izin berikutnya melibatkan lebih banyak pihak. Metro TV, Trans, TV7, Global TV, dan Lativi memperoleh izin dari sebuah tim bentukan pemerintah, yang di dalamnya ada wakil masyarakat. Bagaimanapun, proses pemberian izin ketika itu tetap tak transparan dan berjarak dari pemantauan masyarakat.
Sejak UU Nomor 31 Tahun 2002 diberlakukan, proses itu berubah menjadi lebih demokratis. Menurut UU, untuk memperoleh IPP baru atau memperpanjang IPP lama, stasiun televisi radio dan televisi harus mengurusnya dari "bawah". Jadi, mula-mula, stasiun mengajukan permohonan kepada KPI, yang kemudian akan mempelajarinya dan mengadakan evaluasi dengar pendapat.
Hasil evaluasi KPI akan diwujudkan dalam bentuk rekomendasi (menolak atau menerima) yang dibawa untuk dibicarakan dalam forum rapat bersama (FRB) dengan Kementerian Komunikasi. Hasil forum rapat bersatu itulah yang akan menentukan apakah permohonan stasiun televisi atau radio diterima atau tidak. Proses ini diharapkan akan meredam praktek-praktek suap, kolusi, dan nepotisme yang mewarnai pemberian izin pada masa lalu.
Pada Oktober 2016, IPP sepuluh stasiun televisi terbesar tersebut sudah habis. Mereka dulu memperoleh IPP tersebut dari Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Jalil yang memang tidak menerapkan pemberian IPP melalui proses yang diamanatkan UU Penyiaran dengan alasan yang tak bisa dipahami. Sofyan memberi IPP "penyesuaian"-begitu istilah yang digunakan-pada 2006.
Menteri Komunikasi saat ini, Rudiantara, patuh kepada UU. Dia menyatakan perpanjangan IPP harus dimulai dari KPI. Rudiantara berulang kali mengatakan rekomendasi KPI akan sangat menentukan nasib sepuluh stasiun televisi tersebut.
Dalam konteks itulah, KPI kini mulai mengevaluasi IPP sepuluh stasiun televisi tersebut. KPI tentu saja bisa memanfaatkan otoritasnya, misalnya, berunding dengan stasiun-stasiun tersebut di belakang ruang tertutup. Namun KPI ternyata tidak "serendah" itu. KPI kini justru mengundang masyarakat untuk memberikan masukan dan catatan tentang kualitas lembaga-lembaga penyiaran tersebut.
Jadi jelas, KPI justru sedang berusaha bersikap seterbuka mungkin dan berusaha melibatkan masyarakat yang memang merupakan pemilik sah frekuensi siaran. Sangat mengherankan bila ini dituduh sebagai ilegal. Saya gagal memahami logika para pemimpin Komisi I DPR dan ATVSI tersebut.