Atlet renang dalam Pekan Olahraga Nasional XIX di Jawa Barat terpaksa senasib dengan tokoh kartun Doraemon dan Shizuka. Di layar televisi, tubuh mereka diburamkan, blurred. Entah dari mana asalnya paranoid dan ketakutan akan tubuh manusia itu. Bahkan atlet yang sedang berlaga di arena pun tak boleh bebas berekspresi.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membantah telah memerintahkan pemburaman. Menurut KPI, itu inisiatif pihak stasiun televisi. Bantahan ini sama seperti saat sebelumnya banyak yang mengeluh, kenapa tayangan kartun pun harus disensor. Bisik-bisik di kalangan praktisi pertelevisian, ketidakjelasan rambu-rambu menjadi pangkal persoalan. Perilaku self-censorship semacam ini muncul karena khawatir kena semprit KPI.
Posisi kebijakan KPI bisa dibilang konservatif. Menyusul protes publik soal tayangan atlet renang ini, Komisi mencuit di Twitter. Mereka menegaskan bahwa lembaga penyiaran seharusnya tidak mengeksploitasi tubuh perempuan dalam bentuk apa pun. Pengambilan gambar, menurut KPI, bisa dari jarak jauh. Fokus gambar adalah kompetisinya, bukan tubuh peserta.
KPI bahkan menyarankan si atlet mengenakan handuk. Bayangkan, momen ekspresif perjuangan ke garis finis harus menunggu atlet mengenakan handuk. Bila mengikuti KPI, mungkin hanya tayangan tanding catur yang bebas dari pemburaman adegan.
Cuitan Twitter KPI itu pun senada dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dari KPI. Pasal 18 pedoman itu menyebutkan tak boleh ada eksploitasi seksual dalam bentuk penayangan bokong, payudara, dan paha dalam jarak dekat.
Persoalannya, apakah atlet menyiratkan eksploitasi seksual? Apakah tayangan Puteri Indonesia berkebaya, penari tradisional, bahkan kartun Doraemon, merupakan eksploitasi seksual? Jika KPI berpendapat "ya", ada yang tidak beres dalam pandangan KPI. Pandangan yang wajib kita gugat karena, sebagai lembaga, semestinya mereka menyuarakan respek pada budaya dan kebinekaan.
Ketimbang ribut mengatur tubuh perempuan, sebaiknya KPI berfokus ke persoalan-persoalan yang lebih serius. Tak sedikit tayangan bermasalah. Adegan kekerasan di sinetron, dialog vulgar, ceramah agama dengan narasumber pendukung radikalisme, ini semua lebih layak diurus. KPI juga perlu lebih tegas menyikapi stasiun televisi yang bebas menayangkan langsung persidangan kasus "Kopi Sianida". Tayangan begini berisiko membuahkan trial by press.
Pada 2015, Komisi mengeluarkan 266 sanksi pelanggaran oleh sepuluh stasiun televisi swasta. Mereka adalah Trans TV, RCTI, ANTV, Global TV, Metro TV, Trans7, Indosiar, MNC TV, SCTV, dan TV One. Komisi juga punya pekerjaan rumah berat, yakni mengevaluasi izin siar ke-10 stasiun televisi tersebut yang akan berakhir tahun ini. Namun sejauh ini Komisi belum transparan menyiarkan hasil evaluasi. Jika KPI serius membenahi dunia pertelevisian, hal inilah yang mesti diutamakan.