TAK mudah bagi pemerintah menarik pajak Google, yang ternyata belum punya badan usaha tetap di Indonesia. Memaksa penyedia layanan aplikasi berbasis Internet itu mengurus badan usaha juga berisiko. Pendekatan persuasif mesti dikedepankan agar Google bersedia menjadi wajib pajak.
Sampai saat ini, pengendali Google lebih memilih mendirikan kantor di Singapura ketimbang di Indonesia. Di Jakarta, perusahaan ini sebatas membuka kantor perwakilan dari Google Asia Pacific Pte Ltd. Namanya PT Google Indonesia, berstatus perusahaan penanaman modal asing terhitung sejak 15 September 2011dan belum punya badan usaha tetap.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak, Google semestinya sudah mengurus badan usaha, sehingga setiap transaksi yang diperoleh dari Indonesia bisa dikenai pajak. Namun perusahaan raksasa asal Amerika Serikat dan sudah lama memutar roda bisnisnya di Indonesia itu terang-terangan menolak pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak. Inilah yang kemudian dinilai sebagai bentuk penghindaran pajak dan bisa dipidana.
Direktorat perlu berhati-hati menghadapi perusahaan teknologi informasi yang operasinya melampaui batas negara itu. Menerapkan mekanisme peradilan perpajakan yang berujung pada sanksi atau hukuman perlu dikaji apakah merupakan satu-satunya pilihan. Risiko yang mesti diperhitungkan adalah seandainya Google hengkang atau mendadak menghentikan akses mesin pencari data jika pemerintah main paksa.
Manfaat mesin pencari (search engine) Google sudah dirasakan oleh jutaan rakyat di Tanah Air. Bahkan sebagian besar instansi pemerintah dan swasta turut menikmati faedah layanan ini. Harus diingat pula, bukan hanya Indonesia yang kerepotan menghadapi tantangan model bisnis seperti Google. Sejumlah negara ngos-ngosan ketika berurusan dengan perusahaan multinasional itu.
Contohnya Inggris. Selama 11 tahun negeri itu empot-empotan mengejar pajak Google senilai Rp 2,2 triliun. Berkat perundingan yang panjang, selain bersedia membayar tagihan, Google akhirnya mengikuti sistem penghitungan pajak Inggris ihwal iklan online. Prancis mirip Indonesia, masih memburu pajak Google senilai Rp 12,9 triliun. Indonesia bukan Tiongkok, yang berani mengusir Google setelah lebih dulu menyiapkan teknologi mesin pencari bernama Baidu.
Tak bisa dibantah, Google telah meraup untung besar di Indonesia. Bersama Facebook, tahun lalu mereka melahap kue iklan digital sebesar US$ 850 juta. Bahkan tahun ini diprediksi keduanya bisa mendulang pendapatan hingga US$ 1 miliar, atau sekitar Rp 13 triliun. Ironisnya, keuntungan segede ini tak bisa dipungut pajaknya.
Direktorat Jenderal Pajak mesti menyiapkan cara alternatif untuk menarik pajak Google. Misalnya, tak bosan mengajak petingginya berunding ihwal pentingnya badan usaha tetap. Jangan lupa menawarkan berbagai kemudahan bila Google mau menambah investasi di negeri ini. Hanya dengan memiliki badan usaha tetaplah pajak Google dapat dihitung dan diketahui berapa duit yang mesti ditagih.