SEDERET kekisruhan mencoreng Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX 2016 di Jawa Barat, yang sedang berlangsung. Kekacauan dalam kompetisi olahraga empat tahunan itu menginjak-injak sportivitas dan merusak pembinaan atlet.
Disebut sederet, lantaran kekisruhan terjadi pada sejumlah cabang olahraga. Dalam semifinal polo air, tim Jawa Barat dan Sumatera Selatan berkelahi di tengah kolam. Perkelahian kemudian melibatkan kontingen DKI Jakarta, yang menonton di pinggir arena. Bukannya mendamaikan, aparat berbaju tentara dan polisi malah ikut baku pukul. Tawuran juga terjadi antara pendukung tim sepak bola Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Aroma kecurangan juga menguar. Di cabang berkuda, sembilan daerah menuduh tuan rumah menyiasati aturan untuk mendapatkan wild cardberkompetisi tanpa seleksijuga menempatkan kuda kontingen lain di kandang beratap seng yang menyebabkan kuda kepanasan. Di cabang judo dan karate, wasit dinilai menguntungkan tim Jawa Barat.
Ambisi untuk menang tanpa menghiraukan sportivitas bahkan terjadi sebelum PON berlangsung: membajak atlet daerah lain. Dengan iming-iming bonus tinggi, sejumlah provinsi meminta para atlet berpindah daerah dan berlaga atas nama mereka. Alih-alih mengoptimalkan pembinaan atlet lokal, sejumlah daerah mengambil jalan pintas untuk mendulang medali emas.
Saat PON berlangsung pun, perebutan atlet masih terjadi. Misalnya kasus karateka Imam Tauhid Raganda dan atlet panjat tebing Tony Mamiri. Jawa Barat menyatakan kedua atlet itu sebagai anggota kontingen mereka. Jawa Tengah memprotes dan mengklaim sebaliknya. Kekacauan menjadi-jadi setelah Dewan Hakim PON XIX mengeluarkan dua putusan yang bertentangan: putusan pertama memenangkan klaim Jawa Barat, sedangkan yang kedua berpihak kepada Jawa Tengah.
Serangkaian kejadian memalukan itu tak akan ada jika pemerintah daerah dan atlet menyadari bahwa PON bukan sekadar soal menang-kalah. Ada yang lebih penting ketimbang medali, yaitu sportivitas. Tuan rumah tak boleh menghalalkan segala cara demi menjadi juara umum. Panitia mesti menyediakan wasit yang tak berat sebelah. Misalnya, wasit yang memimpin pertandingan harus berasal dari daerah netral.
Akar persoalan sebenarnya ada pada pembinaan. Komite Olahraga Nasional Indonesia, yang menyadari hal ini, sudah meluncurkan Grand Strategy Pembangunan Olahraga Prestasi Nasional 2014-2024. Konsep yang juga disusun oleh pemerintah dan akademikus itu menyebutkan, pengembangan olahraga nasional memerlukan pembinaan jangka panjang yang terencana. Kuncinya ada pada pembibitan calon atlet, kompetisi berjenjang, serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
Strategi yang disusun dalam bentuk buku itu sudah disebarkan ke daerah. Kini, tinggal menerapkannya secara sungguh-sungguh agar kelak lahir bakat-bakat tangguh dan sportif yang akan berlaga di arena PON dan kompetisi yang lebih tinggi: SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.