Masih adanya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan kegagalan kaderisasi dalam partai politik. Calon tunggal tidak hanya menutup kesempatan khalayak membuat pilihan, tapi juga merusak iklim demokrasi.
Fenomena calon tunggal itu muncul dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2017 yang bakal berlangsung serentak di 101 daerah pada 15 Februari tahun depan. Hingga batas waktu pendaftaran calon pada 23 September lalu, ada tujuh daerah yang hanya memiliki satu calon, yaitu Kabupaten Pati, Jawa Tengah; Landak, Kalimantan Barat; Buton, Sulawesi Tenggara; Kulon Progo, Yogyakarta; Tulang Bawang Barat, Bandar Lampung; Tambrauw, Papua Barat; dan Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Tiadanya pesaing membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa pendaftaran di daerah tersebut. Tapi kemungkinan munculnya calon lain hampir nihil. Sebabnya, calon tunggal itu umumnya didukung koalisi parpol yang menguasai 90 persen kursi di DPRD setempat. Mustahil sisa kursi yang ada bisa mengajukan calon baru karena syarat minimal adalah memiliki 20 persen kursi.
Adanya calon alternatif juga bukan lagi keharusan setelah Mahkamah Konstitusi pada tahun lalu menetapkan bahwa daerah dengan calon tunggal tetap bisa menggelar pilkada. Dalam hal calon hanya satu, pemilih cukup menyatakan setuju atau tidak terhadap calon itu.
Calon tunggal bukan hal baru. Masih adanya fenomena ini menunjukkan partai politik memilih cara mudah. Mereka mengandalkan kader-kader seniornya. Ruang untuk kader-kader muda kian sempit dengan adanya budaya mahar politik, yaitu calon yang hendak mengajukan diri harus menyetor sejumlah besar uang. Ketika tiba saatnya harus menunjuk calon, cara pragmatislah yang digunakan: ramai-ramai mendukung calon yang berpeluang terbesar menang. Atau, berpaling ke tokoh-tokoh di luar partai. Hal ini terjadi dalam pilkada DKI Jakarta, yang tiga calonnya berasal dari luar partai.
Calon tunggal memang legal, tapi merusak demokrasi. Kompetisi politik untuk mendapatkan hasil terbaik macet. Yang juga mengkhawatirkan, calon tunggal yang terpilih sebagai kepala daerah sulit dikontrol. Sebab, mereka mendapat dukungan mayoritas pemegang kursi di DPRD. Kekuatan pengontrol, syarat agar demokrasi berjalan, tak ada lagi. Bahkan bisa saja kepala daerah akhirnya hanya menjadi "boneka" keinginan partai pengusung.
Kondisi begini tak boleh dibiarkan. Partai semestinya memperbaiki kaderisasi agar muncul calon pemimpin yang siap berkompetisi. Iklim "mahar"hanya mengangkat calon yang mampu membayarharus dihentikan.
Perlu juga mempertimbangkan revisi Undang-Undang Pilkada. Salah satunya, melonggarkan persyaratan pencalonan kepala daerah, termasuk menurunkan pagu dukungan 20 persen kursi di DPRD untuk calon partai serta dukungan 6,5-10 persen penduduk untuk calon perseorangan. Dengan cara ini, peluang partai mengajukan calon bisa lebih besar.