Putu Setia
Karena Romo Imam lagi sumringah di padepokannya, saya pun berani menggoda. "Saya dengar Romo mendapat penghargaan dari Bupati karena sikap Romo yang melindungi kaum tertindas dan kaum minoritas. Romo tanggap memberi pernyataan untuk kasus-kasus intoleransi."
Pertanyaan itu saya susun dengan hati-hati supaya Romo tidak tersinggung. "Ya. Memang benar. Penghargaan diberikan karena saya dianggap berjasa menjaga toleransi. Saya tentu saja senang dengan penghargaan ini."
Saya ikut senang. Bukan karena penghargaan itu, melainkan Romo menjawabnya dengan senyum. "Kapan penghargaan diberikan?" tanya saya. Romo memandang saya: "Penghargaan itu prestisius, tapi saya tak akan pernah menerimanya. Saya sudah mengajukan surat penolakan."
Ah, saya terkejut. Dan Romo melanjutkan: "Saya kira Bupati hanya mau menyindir dengan memberikan penghargaan itu. Toleransi di sini malah semakin bermasalah, bukan saja kaum minoritas tidak terlindungi, tapi semakin terpojok. Kalau itu bukan sindiran, berarti Bupati menerima laporan yang salah."
"Salah bagaimana, Romo?" Saya menyela. Romo berkata: "Ya, siapa tahu Bupati menerima kabar yang tidak lengkap. Misalnya, setiap terjadi kerusuhan antara kaum minoritas dan kelompok mayoritas, saya memang selalu berseru: hentikan kerusuhan, berdamailah. Setiap ada korban yang jatuh, saya selalu berkata: saya prihatin dan usut tuntas sesuai hukum."
Saya menyela lagi: "Itu kan sikap yang bagus, Romo, pemimpin yang segera tanggap." Romo tertawa: "Tetapi kerusuhan bukannya berkurang, malah bertambah. Rupanya, perintah saya untuk mengusut sesuai hukum tidak dijalankan di lapangan. Imbauan saya untuk berdamai tidak didengar. Pernyataan keprihatinan saya malah dijadikan bahan guyonan. Toleransi semakin tipis di masyarakat, tapi Bupati salah mencerna. Dikiranya perintah dan imbauan yang saya keluarkan sudah dilaksanakan dengan sebaiknya."
"Kalau begitu bupatinya kurang informasi. Pantas saja ada yang melaporkan keadaan sebenarnya lewat surat," kata saya. Romo tersenyum: "Tapi, sebelum Bupati memberi penghargaan, saya sudah menulis surat penolakan. Saya malu dong kalau menerima penghargaan untuk pemimpin yang berjasa dalam hal toleransi, tapi dalam kenyataan toleransi semakin mundur. Di padepokan ini, banyak kaca untuk becermin. Saya memang tak pantas menerimanya. Pemimpin yang pantas menerima penghargaan itu hanya pemimpin yang betul-betul bergerak ke lapangan dan bertindak untuk menghentikan kerusuhan atau perselisihan. Bukan pemimpin yang hanya memberi perintah dan mengimbau atau memberi pernyataan prihatin, sementara aksi lanjutannya tidak ada. Itu pemimpin yang hanya berwacana."
Romo luar biasa, saya membatin. Padahal tokoh-tokoh formal dan nonformal di negeri ini sangat senang menerima penghargaan, entah itu di bidang akademis, status sosial mendadak berdarah biru, ataupun penghargaan karena seolah-olah suatu prestasi. Penghargaan itu pun dipamerkan di televisi, misalnya, sang tokoh muncul sebagai bintang iklan. Ya, kalau tak ada dana membuat iklan layanan masyarakat, iklan jamu pun oke juga.
"Memangnya ada pemimpin yang gemar penghargaan?" tanya Romo tiba-tiba. Saya jadi kaget dan minta supaya pertanyaan itu diperjelas. Romo memperjelas: "Maksud saya, apakah ada orang sejenis saya atau yang jabatannya lebih tinggi, misalnya, bupati atau gubernur atau presiden yang mendapat penghargaan toleransi padahal masyarakatnya tetap rusuh?"
Saya merenung sesaat, lalu menjawab: "Romo, saya sulit menjawab, nanti saya dituduh bermata dangkal."