Putu Setia
Mencari calon presiden ternyata sulit setengah mati. Padahal penduduk Indonesia sudah 250 juta. Orang pintar pun banyak, baik yang minum jamu maupun tidak. Masalahnya, orang pintar itu harus ada embel-embel jujur, tidak korupsi, tidak ngemplang pajak. Dia harus punya martabat, bermoral, dan--ini sering disebut meski sulit diukur--bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Jika persyaratan ini dipenuhi, tak mungkin seorang presiden selingkuh dengan anak sekolah menengah kejuruan. Presiden seperti itu pasti rohaninya sakit. Jika begitu, selain jasmani yang sehat, rohani pun harus sehat. Wah, semakin sulit, karena banyak orang yang tak sadar rohaninya bermasalah.
Partai Demokrat akan menggelar konvensi. Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf menyebutkan proses konvensi itu sudah dimulai bulan Juni ini, meski mekanismenya belum disusun. Tak apa-apa, petinggi partai itu sudah biasa mewacanakan sesuatu yang belum jelas juntrungannya. Presiden SBY sebagai Ketua Umum Demokrat sudah mengundang beberapa orang untuk ikut konvensi.
Secara normal, konvensi dilakukan oleh partai karena kader-kader mereka banyak yang bermutu. Konvensi digelar untuk memilih satu yang paling bermutu. Partai Golkar pernah melakukan hal ini. Namun yang terjadi pada Partai Demokrat beda, konvensi dilakukan karena kader-kadernya "tak bermutu" sehingga perlu mengundang "orang luar". Terbetik berita yang belum pasti benar, Gubernur Jakarta Joko Widodo termasuk yang diundang. Padahal orang tahu Joko Widodo kader PDI Perjuangan, dan orang pun tahu jawaban Jokowi: "Ngurusin Kartu Jakarta Sehat saja loncat-loncat begini."
Ada hikmahnya Demokrat menggelar konvensi. Kalau tidak ada hajatan ini, bagaimana tokoh-tokoh bermutu yang tak berpartai bisa dijaring? Golkar sudah tertutup untuk calon presiden selain Aburizal Bakrie. Gerindra juga begitu, harga mati untuk Prabowo. Hanura sama saja, tak bisa berpaling dari Wiranto. PAN apalagi, hanya punya Hatta Rajasa. Partai kecil seperti PBB juga punya kandidat, Yusril Ihza Mahendra. Akan halnya PDI Perjuangan, "konvensi absolut" ada pada diri sang ketua umum, Megawati. Siapa pun calon presiden dari PDI Perjuangan, harus melalui Megawati. Jika benar Megawati tak mencalonkan diri, kader PDI Perjuangan yang bermutu masih lumayan. Di luar Joko Widodo, yang belum berhasil menangani kemacetan Jakarta, ada Pramono Anung dan Tjahjo Kumolo--sebut dua saja dulu--yang cukup berwawasan, santun, dan gemar bola.
Yang jadi persoalan, apakah tokoh luar partai berminat mengikuti konvensi Partai Demokrat? Nurhayati menyebutkan, tokoh yang diundang dan diseleksi ketat itu pemikirannya harus sesuai dengan visi dan misi partai. Artinya, dia harus menjalankan program Partai Demokrat sebagai partai yang mengusungnya, bahkan nanti bisa diajak berkeringat memenangkan Demokrat. Tokoh-tokoh yang selama ini berada di luar partai bisa berpikir keras untuk menerima undangan konvensi itu. Mereka senang mempertahankan predikat "non-partai" di tengah partai-partai yang korup.
Inilah dilema Indonesia, sulit mencari pemimpin yang benar. Apa tak sebaiknya konvensi diadakan oleh lembaga independen yang dibuat khusus untuk itu, yang pendirinya tokoh-tokoh republik ini, tanpa sekat partai dan juga tokoh tak berpartai. Hasil konvensi, tawarkan kepada partai karena hanya partai yang bisa mengusung calon presiden. Andaikata memilih presiden sama dengan memilih gubernur, yang dibolehkan ada calon independen, persoalan bisa lebih mudah. Memilih presiden rupanya sengaja dibatas-batasi.