Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2013-2018
Gotri masih bersarang pada tubuh Ni Made Arsini. Perempuan 47 tahun itu adalah korban bom Bali II, yang terjadi 12 tahun lalu. Selama bertahun-tahun, ia harus menjalani check-up dan terapi rutin. Namun, ketika bantuan biaya pengobatan yang diberikan lembaga swadaya masyarakat asal Australia berhenti pada 2008, berat bagi Arsini untuk membiayai pengobatan lanjutan.
Hingga kini, Arsini masih trauma bila mendengar suara petasan. Ia tidak sendiri. Banyak korban bom lainnya, yakni bom Bali I, bom Kuningan, bom Hotel JW Marriott, hingga bom gereja di Solo, yang juga menderita dengan taraf hampir serupa.
Para korban serangan teroris mengeluhkan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap pelaku. Pemerintah dinilai lebih memperhatikan para pelaku dan keluarganya melalui program pemberdayaan ekonomi dalam konteks deradikalisasi. Publik kerap mengira ketika korban mendapat perawatan di rumah sakit, masalah telah selesai. Adapun perhatian publik dan negara lebih awet dalam mengingat jaringan pelaku.
Apakah pemulihan korban kini menjadi agenda prioritas pemerintah? Setelah serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pertengahan Januari lalu, Presiden Joko Widodo secara proaktif mengundang pimpinan DPR RI dan pimpinan lembaga negara untuk menyampaikan usul revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Usul tersebut disambut positif dan menjadi agenda prioritas program legislasi nasional parlemen tahun ini.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan perubahan atas undang-undang tersebut rencananya meliputi masa penahanan terduga teroris; kewenangan penangkapan, penuntutan, dan pengusutan; serta pencabutan paspor bagi warga Indonesia yang mengikuti pelatihan militer di luar negeri. Pemerintah berfokus pada upaya melawan dan mencegah serangan terorisme. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa pemulihan dan pemenuhan hak korban belum menjadi prioritas.
Perhatian terhadap korban sebenarnya telah tertuang dalam berbagai perundang-undangan. Setidaknya, soal itu terdapat dalam Undang-Undang 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Apakah kedua undang-undang itu cukup untuk memfasilitasi pemenuhan hak korban? Mari kita tengok.
Dalam UU Nomor 15, diatur soal hak korban untuk memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, pada prakteknya, hal itu belum terealisasi. Kompensasi alias pembayaran untuk kerugian korban oleh negara hanya ada dalam putusan atas terdakwa Masrizal alias Tohir dalam perkara pengemboman JW Marriott, September 2004, yang mencantumkan besaran kompensasi bagi korban, baik yang mati maupun terluka.
Namun putusan tersebut tak kunjung dieksekusi karena tidak mencantumkan identitas korban yang berhak mendapatkannya. Masih diperlukan upaya hukum lainnya, seperti penetapan dari pengadilan atas siapa yang dimaksudkan dengan "korban", untuk kemudian diajukan ke Menteri Keuangan. Sedangkan pengajuan rehabilitasi dan restitusi dilakukan melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sejauh ini, belum terdengar ada korban yang mengajukan permohonan rehabilitasi.
Pengaturan soal hak korban terorisme dalam UU 31 Tahun 2014 jauh lebih jelas. Dalam UU tersebut, saksi atau korban terorisme menjadi salah satu prioritas yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Korban juga berhak mendapat bantuan medis, psikologis, dan psikososial. LPSK juga bisa memfasilitasi korban untuk mengajukan kompensasi atau restitusi.
Sejak UU tersebut disahkan, LPSK menerima permohonan bantuan medis, psikologis, dan psikososial dari para korban bom di Bali dan Jakarta. Dalam memproses permohonan korban bom ini, LPSK membutuhkan keterangan yang menyatakan pemohon adalah korban terorisme. LPSK telah meminta Kepolisian Daerah Bali dan Metro Jaya menerbitkan surat keterangan korban.
Meski sudah ada pedoman kerja pelaksanaan nota kesepahaman antara LPSK dan kepolisian sejak 2012, proses penerbitan surat keterangan tidak sepenuhnya mulus. Sebab, Polda Bali dan Metro Jaya ternyata tidak memiliki data korban bom tersebut. Polda selama ini hanya memiliki catatan korban yang diambil keterangannya sebagai saksi. Sedangkan korban yang tidak diambil keterangannya sebagai saksi tidak tercatat.
Proses verifikasi ini cukup memakan waktu. Penanganan korban bom Thamrin juga menghadapi hal serupa, termasuk belum adanya surat jaminan dari pemerintah atas pembiayaan perawatan medis korban bom tersebut.
Karena itu, revisi UU Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme perlu merumuskan aturan dan langkah konkret bagi pemenuhan hak-hak korban terorisme. Pertama, lembaga apa yang bertanggung jawab atas perawatan medis atau santunan kematian bagi korban terorisme. Perlu pula dipertegas penanggung jawab pemberian bantuan psikososial kepada korban.
Kedua, perlu diperjelas pengaturan kompensasi yang ada, yakni proses dan cara pemberian yang lebih implementatif agar bisa dinikmati korban. Pertanyaan yang patut dikaji adalah bagaimana bila pelaku tewas sehingga tidak ada proses hukum? Apakah korban masih mungkin mendapat kompensasi? Mungkinkah hal itu diputuskan melalui penetapan pengadilan? Hal penting didiskusikan karena pada hakikatnya hak korban tidak bergantung pada situasi dan nasib pelaku.