Bagong Suyanto, Peneliti pelacuran dan sosiolog Universitas Airlangga
Keberadaan lokalisasi Kalijodo di Jakarta Utara tinggal menghitung hari setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mengambil langkah untuk menutupnya. Serentetan rapat telah digelar dengan berbagai pihak untuk memastikan agar upaya penutupan Kalijodo tidak kisruh, termasuk kemungkinan menghadapi resistansi preman lokal yang menolak penutupan.
Di Bandung, Wali Kota Ridwan Kamil dikabarkan juga ingin menutup tuntas lokalisasi di wilayahnya yang terkenal dengan nama Saritem. Meski Saritem dinyatakan telah ditutup pada 2007 dan digerebek pada 2014, bisnis esek-esek di sana ternyata masih tetap bergeliat.
Kasus yang terjadi di Saritem ditengarai juga terjadi di Surabaya dan Jakarta. Walau lokalisasi Dolly di Surabaya dan Kramat Tunggak di Jakarta sudah ditutup, praktek pelacuran diakui atau tidak tetap marak di sana. Memang praktek prostitusi di kompleks lokalisasi telah dibubarkan, tapi kemudian prostitusi itu bergeser ke salon, hotel, losmen, apartemen, dan prostitusi online.
Untuk memastikan agar upaya penutupan lokalisasi juga sekaligus menjadi jalan untuk menuntaskan upaya pemberantasan prostitusi, selain perlu memahami dengan benar apa yang terjadi di balik maraknya praktek pelacuran, yang tak kalah penting adalah perumusan program pemberantasan yang benar-benar komprehensif.
Noeleen Heyzer (1986) menyatakan, selain praktek pelacuran yang bekerja sendiri-sendiri, sebagian besar pelacuran yang ada di kota besar biasanya melibatkan pelacur yang bekerja di bawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan, seperti klub panti pijat dan hotel-hotel. Baik di Jakarta, Bandung, maupun Surabaya, pelacuran yang berkembang umumnya bermacam-macam. Tapi yang mencolok mata umumnya adalah lokalisasi.
Pelacur yang membuka praktek pelayanan jasa seksual di kompleks lokalisasi biasanya bekerja di bawah koordinasi dan naungan germo. Adapun yang dimaksud sebagai germo atau muncikari adalah orang yang mata pencahariannya, baik sambilan maupun sepenuhnya, menyediakan, mengadakan atau turut serta mengadakan, membiayai, menyewakan, membuka dan memimpin serta mengatur tempat pelacuran. Germo mempertemukan atau memungkinkan bertemunya pelacur dengan laki-laki untuk bersetubuh.
Kalijodo lebih dari sekadar kumpulan wisma. Di kompleks lokalisasi seperti Kalijodo, kehadiran bisnis prostitusi umumnya telah berkembang menjadi jaringan kehidupan tersendiri yang melibatkan banyak pihak, mulai dari germo, muncikari, tukang parkir, hingga bisnis cucian. Karena itu, upaya menutup lokalisasi niscaya akan berimbas ke berbagai pihak.
Di Kalijodo, ketika wacana penutupan lokalisasi digulirkan Ahok, bisa kita lihat pihak yang menentang justru bukan para pelacur itu sendiri, melainkan para preman lokal dan tokoh informal yang berkuasa di sana. Orang-orang yang berkeberatan atas penggusuran Kalijodo adalah pihak yang selama ini memperoleh banyak manfaat ekonomi dari kehadiran lokalisasi, terutama memperoleh balas jasa keamanan yang mereka jamin.
Memberantas pelacuran hingga ke akar-akarnya, harus diakui, memang bukan hal mudah. Kesulitan yang dihadapi pemerintah kota untuk memberantasnya adalah karena terlalu banyak masalah dan pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk backing preman dan bahkan backing aparat keamanan yang acap kali malah memperkeruh situasi.
Selain itu, dari pihak pemerintah kota sendiri harus diakui tidak banyak sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk terus-menerus mengawasi praktek pelacuran yang berjalan kucing-kucingan. Di Saritem ataupun Dolly, meski secara resmi lokalisasi di sana sudah ditutup sejak dua tahun lalu, pada kenyataannya masih ada saja praktek pelacuran yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Memberantas praktek prostitusi hingga tuntas, selain dibutuhkan konsistensi penegakan hukum, yang tak kalah penting adalah bagaimana pemerintah kota secara kreatif mampu untuk terus memelihara stamina dan mengembangkan berbagai upaya untuk menekan ruang gerak praktek prostitusi. Memastikan untuk memproses secara hukum muncikari atau germo yang mengeksploitasi perempuan yang mereka pekerjakan sebagai pelacur, menangkap laki-laki hidung belang yang menjadi konsumen, dan lain sebagainya adalah upaya-upaya kreatif yang perlu terus dikembangkan agar praktek prostitusi pelan-pelan dapat dihapuskan.
Menutup lokalisasi adalah hal yang berbeda dengan memberantas prostitusi. Menutup lokalisasi hanyalah introduksi yang membutuhkan program lanjutan agar hasil akhirnya benar-benar dapat memberantas praktek prostitusi. Bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Kota Surabaya, dan Kota Bandung, alangkah baiknya jika mereka tidak hanya puas berhasil menutup lokalisasi. Tapi, lebih jauh, juga melakukan berbagai upaya untuk memastikan bahwa praktek prostitusi benar-benar telah diberantas.
Tantangan utama yang dihadapi Pemerintah DKI Jakarta pasca-penutupan Kalijodo nanti sesungguhnya adalah memastikan agar para pelacur yang tergusur dari sana tidak kembali terpuruk pada pekerjaan yang sama di tempat lain.