Pemerintah harus segera membuka laporan investigasi Tim Pencari Fakta Kematian Munir Said Thalib ke publik. Sesuai dengan putusan majelis hakim Komisi Informasi Pusat (KIP), Senin lalu, yang mengabulkan permohonan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pemerintah harus segera mengumumkan hasil penyelidikan tersebut ke publik. Pemerintah memiliki waktu 14 hari untuk mengeksekusinya.
Munir meninggal akibat racun dalam penerbangan Garuda Indonesia dari Singapura ke Belanda pada 7 September 2004. Pada 23 Desember 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 111 untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF).
Pada 24 Juni 2005, tim menyerahkan laporan hasil investigasi kepada Presiden, yang saat itu didampingi beberapa pejabat negara, di antaranya Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Dalam laporan tersebut, TPF mengungkap skenario pembunuhan Munir yang diduga berasal dari lembaga intelijen.
Namun, ketika Kontras mengajukan permohonan ke Sekretariat Negara untuk meminta agar laporan TPF Munir diumumkan sesuai dengan Keppres Nomor 111 tentang TPF, permohonan itu ditolak. Alasannya, Sekretariat Negara tak menguasai dokumen dan tidak mengetahui keberadaannya. Di mana dokumen itu? Maka Kontras membawa kasus ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Sudi Silalahi, dalam pernyataan tertulisnya, menyatakan tidak menerima salinan dokumen itu. Yusril juga tak memberikan penjelasan apa pun.
Kini, setelah putusan KIP keluar, Sekretariat Negara sebaiknya tak lari lagi dari tanggung jawab. Meski tak memiliki kewenangan eksekusi paksa, putusan KIP berkekuatan hukum tetap. Pemerintah harus memberi contoh kepada rakyat untuk taat hukum.
Keberadaan salinan dokumen harus ditelusuri untuk kemudian dibuka ke publik. Sangat tidak bertanggung jawab bila ada dokumen laporan tim bentukan presiden tak diarsip di Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet. Bila perlu, telusuri hingga ke para pejabat negara yang diberi salinannya atau bahkan hingga mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain itu, perlu diusut siapa yang bertanggung jawab atas ketiadaan dokumen tersebut, untuk kemudian diproses hukum. Pasal 53 Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa seseorang yang dengan sengaja melawan hukum, merusak, atau menghilangkan dokumen informasi publik bisa dikenai hukuman penjara 2 tahun dan/atau denda Rp 10 juta.
Bila pemerintah serius mau memenuhi janji menuntaskan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, membuka hasil investigasi TPF Munir menjadi salah satu jalan untuk menuntaskan kasus yang tak kunjung jelas ini. Siapa dalang pembunuhan Munir semoga bisa terungkap dan dihukum, tak hanya berhenti dengan dihukumnya mantan pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto.