Permintaan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah segera mengesahkan dua beleid yang mengatur reklamasi Teluk Jakarta perlu diawasi ketat. Jangan sampai pelaksanaannya menyimpang dan menabrak aturan.
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta itu sebelumnya disepakati ditunda hingga 2019 akibat perkara suap yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Proyek reklamasi juga sempat dimoratorium beberapa waktu lalu, ketika Rizal Ramli masih menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman. Setelah Luhut Binsar Pandjaitan menggantikan Rizal, moratorium itu dicabut. Proyek reklamasi 17 pulau pun boleh dilanjutkan.
Mendapat lampu hijau, Basuki meminta pengesahan itu. Namun ia harus belajar dari kesalahan. Pemberian izin reklamasi kepada sejumlah pengembang sebelumnya cacat hukum. Semestinya, dua Raperda Reklamasi itu diterbitkan dulu sebelum izin reklamasi diberikan. Yang terjadi sebaliknya. Tak hanya itu, sebagai pijakan menerbitkan izin, Basuki tak mencantumkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Konsekuensinya, sebelum dua aturan itu disahkan, semua izin harus dicabut.
Tak berlebihan bila ada kecurigaan bahwa Basuki sedang memainkan momentum pemilihan kepala daerah untuk meloloskan laju pembahasan Raperda Reklamasi. Apalagi kali ini ia didukung oleh empat partai politik: PDIP, NasDem, Golkar, dan Hanura. Dengan kekuatan empat partai politiktotal 52 kursi dari minimal 70 kursi sebagai syarat sah untuk dilakukan rapat paripurnabisa jadi nasib Raperda Reklamasi bakal ditentukan melalui proses politik di parlemen. Di sinilah kerawanan praktek suap dimungkinkan terjadi.
KPK dan Bareskrim Polri perlu mengawal pembahasan Raperda Reklamasi. Sebelumnya, pembahasan sempat dihentikan setelah KPK menangkap tangan anggota Fraksi Gerindra, Mohamad Sanusi, yang menerima suap Rp 2 miliar dari perusahaan pengembang reklamasi, PT Agung Podomoro Land.
Selain masalah prosedural, izin analisis mengenai dampak lingkungan perlu dicermati. Hingga kini, prosesnya tak sesuai dengan ketentuan. Amdal Reklamasi Teluk Jakarta masih parsial. Itu artinya amdal dibuat secara pulau per pulau, bukan regional. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah meminta agar amdal tidak dipotong-potong, melainkan secara menyeluruh. Sebab, Reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya memiliki dampak terhadap kawasan itu, tapi juga ke wilayah Banten dan Jawa Barat.
Yang tak kalah penting dalam pembahasan Raperda Reklamasi ini adalah melibatkan para pemangku kepentingan, seperti kelompok nelayan. Bila hanya eksekutif dan legislatif yang terlibat, yang bakal dirugikan adalah rakyat jua.