Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Teroris Amatir dan Melek Digital

image-profil

image-gnews
Iklan

Noor Huda Ismail, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian

Salah satu hasil survei nasional tentang Islam dan terorisme yang dikeluarkan oleh The Wahid Institute yang bekerja sama dengan Indo Barometer (IB) menyimpulkan bahwa cara-cara kekerasan, baik terhadap umat beragama lain maupun untuk memerangi kemaksiatan, ditentang oleh mayoritas rakyat Indonesia (93,9 persen). Ini juga berarti negara masih ada "PR" untuk menangani sekitar 6,1 persen orang yang bersikap sebaliknya. Dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 250 juta orang itu, maka 6,1 persen itu tentu bukan jumlah yang sedikit.

Barangkali, dengan merujuk pada hasil survei di atas, pelaku tunggal percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yoseph Doktor Mansyur Medan, Ahad dua pekan lalu, termasuk dalam kategori 6,1 persen itu. Sebagian media menuding aksi tersebut sebagai aksi "lone wolf" atau aksi mandiri. Namun, benarkah demikian? Meskipun aksi ini amatiran, pelajaran apakah yang bisa kita petik?

Menurut pengakuan sang bapak pelaku di media massa, putranya mendapat perintah dari seseorang untuk melakukan aksi teror itu. Apakah seseorang itu terkait dengan ISIS? Sampai detik ini, pihak aparat belum bisa memastikan hal itu.

Namun, jika benar hal ini terkait dengan jaringan ISIS di Indonesia, bentuk keterlibatan ini merupakan jenis rekrutmen baru. Pelaku tidak lagi perlu menjadi bagian dari sebuah kelompok kekerasan seperti JI, JAT, atau Tauhid Wal Jihad terlebih dulu untuk menjadi pelaku kekerasan. Dalam pola baru ini, mereka hanya terhubung karena kesamaan imajinasi melalui Internet, terutama media sosial.

Ini bukan berarti pelaku kekerasan hanya terpapar oleh media sosial, kemudian terlibat sebuah aksi. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat komunal ini, pertemuan fisik dengan pelaku yang lain masih sangatlah diperlukan. Maka, media sosial itu hanya mempercepat dan mempermudah proses radikalisasi pelaku.

Misalkan, dalam kasus penangkapan kelompok Ibadurrahman di Solo yang merencanakan aksi teror terhadap polisi, vihara, dan gereja pada Agustus 2015. Jaringan ini terkait dengan jaringan Bahrun Naim di Suriah melalui telegram. Tapi, baik Ibadurrahman maupun Bahrun Naim telah menjalin hubungan persahabatan sebelum merencanakan aksi tersebut.

Pola radikalisme seperti kasus-kasus di atas sangatlah mungkin akan menjadi tren di masa depan. Salah satu ciri pola baru ini adalah rekrutmen berlangsung sangat cepat. Walhasil, mereka hanyalah anggota "karbitan". Kemampuan serangan mereka pun amatiran. Namun, dengan semakin lemahnya ISIS di Timur Tengah karena serangan beruntun dari pasukan koalisi, para kombatan asing yang telah bergabung dengan ISIS akan bertebaran ke seluruh dunia dan secara cerdik akan menabuh genderang perang terhadap musuh ISIS. Mereka akan meradikalisasi pendukungnya di seluruh dunia melalui fatwa-fatwa kekerasan di Internet, terutama melalui media sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sasaran empuk rekrutmen mereka biasanya adalah para anak muda yang masih labil mencari jati diri dan individu yang termarginalkan secara sosial, politik, dan budaya. Marah terhadap realitas pedih kehidupan, mereka pun merelakan diri menjadi martir bagi sebuah kelompok yang mengusung jargon-jargon agama yang bombastis, seperti membangun peradaban baru di bawah naungan khilafah Islam. Mereka berprinsip "hidup mulia atau mati syahid".

Bandingkan dengan pola lama ketika pelaku selalu terlebih dulu bergabung dengan sebuah kelompok kekerasan, kemudian secara bertahap dipersiapkan baik secara ideologi maupun kemampuan mereka. Prinsip mereka yang terangkum dalam ekspresi bahasa Arab "La jihada illa bil I'dad" ("Tidak ada sebuah jihad itu tanpa sebuah persiapan").

Karena itu, hampir semua serangan teror di Indonesia selalu diikuti terlebih dulu dengan pelatihan militer secara berkelompok. Proses ini adalah fase penting saat identitas diri lebur menjadi identitas kelompok, sehingga "tekanan kelompok" menjadi salah satu faktor penting yang mendorong pelaku terlibat kekerasan. Mereka akhirnya bertindak atas nama kelompok, bukan atas nama pribadi.

Seperti halnya gerakan sosial-politik yang lain, kelompok kekerasan pun menggunakan Internet untuk penggalangan dana serta membangun loyalitas kelompok yang berawal dari pertemanan online menjadi brotherhood atau bahkan perjodohan. Media mereka pun lebih eye catching (memikat) dibandingkan dengan media yang diproduksi oleh negara. Secara berkala, laman-laman situs mereka pun diperbarui dengan berita-berita yang provokatif.

Ironisnya, sampai detik ini, masih sangatlah sedikit upaya secara sistematis, baik itu dilakukan oleh negara dan masyarakat sipil, untuk melakukan "narasi tandingan" terhadap propaganda kelompok-kelompok ini. Hal ini terdengar basi, tapi itu adalah fakta penting yang perlu segera disikapi dalam jangka waktu dekat, mengingat sudah ada beberapa kasus beberapa anggota organisasi Islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, yang loncat pagar dan bergabung dengan kelompok kekerasan.

Kondisi ini diperparah oleh rendahnya "melek digital" atau kemampuan membaca secara kritis informasi yang berseliweran di media digital hari ini. Maka, serangan amatiran terhadap pastor di Medan itu harus menjadi peringatan serius bahwa, untuk melawan radikalisasi pola baru ini tidak bisa hanya dilakukan sendiri oleh negara, tapi diperlukan juga kerja sama semua pihak. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menggalakkan "melek digital" di kalangan anak muda agar mereka tidak terus menjadi korban dari kampanye kebencian yang tumpah-ruah di ranah media sosial kita.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Putin Akui Belum Ada Bukti Keterlibatan Ukraina dalam Serangan Teroris Moskow

29 hari lalu

Kandidat presiden Rusia dan Presiden petahana Vladimir Putin tiba untuk berbicara setelah tempat pemungutan suara ditutup pada hari terakhir pemilihan presiden, di Moskow, Rusia, 17 Maret 2024. REUTERS/Maxim Shemetov
Putin Akui Belum Ada Bukti Keterlibatan Ukraina dalam Serangan Teroris Moskow

Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui bahwa sejauh ini belum ada tanda-tanda keterlibatan Ukraina dalam penembakan di gedung konser Moskow


Dapat Ancaman dari Kelompok Radikal, Prancis Imbau Warganya Tinggalkan Pakistan

16 April 2021

Para pendukung partai politik Islam Tehreek-e-Labaik Pakistan (TLP) berlindung di tengah jet air selama protes terhadap penangkapan pemimpin mereka di Lahore, Pakistan 13 April 2021. [REUTERS / Stringer]
Dapat Ancaman dari Kelompok Radikal, Prancis Imbau Warganya Tinggalkan Pakistan

Massa kelompok Islam radikal Pakistan bentrok dengan polisi untuk memprotes penangkapan pemimpin mereka yang menuntut dubes Prancis diusir.


Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal

3 November 2020

Logo Te.co Blank
Prancis, Sekularisme, dan Kehati-hatian Menangani Islam Radikal

Prancis menjadi sorotan sejak peristiwa pembunuhan guru asal Paris. Penyebabnya, pernyataan mereka soal paham radikal. Diduga lost in translation.


Ini Reaksi Berbagai Politisi dan Kepala Negara Atas Terorisme di Nice

29 Oktober 2020

Petugas kepolisian berjaga di dekat lokasi terjadinya sebuah serangan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan pisau di gereja Notre Dame di Nice, Prancis, 29 Oktober 2020. Dalam serangan tersebut, petugas kepolisian memastikan dua orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka. REUTERS/Eric Gaillard
Ini Reaksi Berbagai Politisi dan Kepala Negara Atas Terorisme di Nice

Kepala pemerintahan dan politisi dari berbagai negara bereaksi atas aksi terorisme yang terjadi Notre-dame Basilica, Nice, Prancis.


Dewan Muslim Prancis Mengecam Aksi Terorisme di Nice

29 Oktober 2020

Petugas kepolisian berjaga di dekat lokasi terjadinya sebuah serangan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan pisau di gereja Notre Dame di Nice, Prancis, 29 Oktober 2020. REUTERS/Eric Gaillard
Dewan Muslim Prancis Mengecam Aksi Terorisme di Nice

Dewan Keimanan Muslim Prancis mengutuk peristiwa teror yang terjadi di Gereja Notre-Dame Basilica, Nice Kamis ini


Presiden Prancis Emmanuel Macron Menuju Lokasi Teror di Nice

29 Oktober 2020

TIga orang dibunuh dalam aksi terorisme terbaru di Gereja Notre Dame Basilica, Nice, Prancis. Pelaku diduga seorang Muslim karena berkali-kali meneriakkan Allahu Akbar (Valery Hache/ AFP)
Presiden Prancis Emmanuel Macron Menuju Lokasi Teror di Nice

Presiden Prancis Emmanuel Macron bergegas menuju Gereja Notre Dame Basilica di Nice yang menjadi lokasi aksi teror terbaru.


Turki Akan Perkarakan Charlie Hebdo Atas Karikatur Erdogan

29 Oktober 2020

Presiden Turki Tayyip Erdogan berpidato di Istanbul, Turki, 21 Agustus 2020. [Murat Cetinmuhurdar / PPO / Handout via REUTERS]
Turki Akan Perkarakan Charlie Hebdo Atas Karikatur Erdogan

Pemerintah Turki menyatakan akan mengambil jalur hukum atas perkara karikatur Recep Tayyip Erdogan di majalah Charlie Hebdo


Prancis Balas Kecaman Turki Soal Karikatur Erdogan di Charlie Hebdo

29 Oktober 2020

Pendukung dan aktivis Islami Oikya Jote, sebuah partai politik Islam, ambil bagian dalam protes yang menyerukan boikot produk Prancis dan mencela Presiden Prancis Emmanuel Macron di Dhaka, Bangladesh, 28 Oktober 2020. Pernyataan Macron dikeluarkan setelah peristiwa pemenggalan terhadap seorang guru bernama Samuel Paty di Prancis. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Prancis Balas Kecaman Turki Soal Karikatur Erdogan di Charlie Hebdo

Pemerintah Prancis merespon kecaman Turki perihal karikatur Presiden Recep Tayyip Erdogan di sampul halaman majalah satir Charlie Hebdo.


Presiden Iran Ikut Komentari Masalah Charlie Hebdo, Turki, dan Prancis

29 Oktober 2020

Presiden Iran Hassan Rouhani menghadiri pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela sidang Dewan Ekonomi Tertinggi Eurasia Di Yerevan, Armenia 1 Oktober 2019. [Sputnik / Alexei Druzhinin / Kremlin via REUTERS]
Presiden Iran Ikut Komentari Masalah Charlie Hebdo, Turki, dan Prancis

Presiden Iran Hassan Rouhani ikut berkomentar soal ketegangan antara Prancis dan Turki yang dipicu oleh karikatur Nabi Muhammad dari Charlie Hebdo


Emmanuel Macron Mau Perkuat Hukum Sekuler Prancis untuk Lawan Islam Radikal

6 Oktober 2020

Presiden Prancis Emmanuel Macron terlihat berbicara kepada bangsa tersebut tentang wabah penyakit coronavirus (COVID-19), 16 Maret 2020. [REUTERS / Eric Gaillard / Illustration]
Emmanuel Macron Mau Perkuat Hukum Sekuler Prancis untuk Lawan Islam Radikal

Emmanuel Macron akan mengusulkan rancangan undang-undang yang akan menguatkan penegakan sekuler untuk melawan Islam radikal.