Langkah pemerintah menaikkan tarif tol Jakarta-Cikampek pada 22 Oktober mendatang menegaskan lemahnya posisi tawar konsumen. Para pengguna jalan tol seperti diabaikan haknya dalam penentuan tarif baru. Keputusan itu diambil sepihak. Kenaikan tarif itu tidak memperhatikan keadilan dan hak masyarakat mendapatkan pelayanan yang baik, dari setiap rupiah yang dibayarkan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 799 Tahun 2016 yang diterbitkan pada 14 Oktober lalu, tarif jalan tol Jakarta-Cikampek akan naik berkisar 7,23 sampai 11,11 persen. Seperti pada keputusan-keputusan sebelumnya, pemerintah hanya berdalih penyesuaian tarifistilah halus pengganti kenaikan tarifadalah penyesuaian terhadap inflasi dalam dua tahun terakhir. Mereka beralasan, dengan tarif baru, Badan Usaha Jalan Tol dapat mengembalikan investasi sesuai dengan rencana bisnisnya.
Secara aturan, pemerintah memang dibolehkan menaikkan tarif tol setiap dua tahun. Namun, dari perspektif kepentingan pengguna jalan tol, ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yang dijadikan sebagai dasar pemerintah menaikkan tarif, sungguh tidak adil. Sebab, bagi konsumen, kenaikan tarif tol semestinya berbanding lurus dengan manfaat yang diperoleh. Ketika ada kenaikan tarif, semestinya ada penjelasan dari pemerintah dan operator jalan tol soal manfaat tambahan apa yang akan yang diperoleh para pengguna.
Sekarang ini, jangankan berharap ada peningkatan pelayanan, masalah yang sudah terjadi bertahun-tahun pun, seperti kemacetan panjang pada setiap jam sibuk, belum juga hilang. Sejatinya, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 328 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimum Jalan Tol sudah menjelaskan pelayanan-pelayanan apa saja yang mesti diberikan kepada konsumen. Namun tetap saja tidak pernah ada kejelasan apakah konsumen sudah mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan tersebut.
Salah satu kritik dari batas pelayanan minimum itu adalah soal lamanya transaksi pembayaran tolyang saat ini maksimum delapan detik per transaksi. Akibatnya, hingga sekarang masalah transaksi pembayaran itu melahirkan kemacetan sangat parah di hampir semua pintu tol, terlebih lagi saat masa liburan.
Alasan kenaikan tarif sebagai upaya mengembalikan nilai investasi operator jalan tol juga kurang transparan. Publik tidak pernah mendapatkan informasi tentang status pengembalian investasi secara logika. Semestinya tarif tol justru diturunkan secara bertahap karena investasi yang ditanam kian susut dengan semakin bertambahnya tahun.
Berangkat dari rendahnya posisi tawar konsumen dalam kebijakan penetapan tarif tol, mendesak dilakukan revisi atas Undang-Undang Jalan, khususnya ketentuan tentang kenaikan berkala setiap dua tahun berdasarkan angka inflasi. Tanpa itu, diskriminasi yang menjadi sumber ketidakadilan bagi pengguna jalan tol akan terus berlangsung.