Menjelang dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, klaim keberhasilan di sana-sini bermunculan. Tujuannya meyakinkan: dua tahun ini lebih baik dibanding sebelumnya. Sebagian benar, tapi tak sedikit yang hanya polesan semata. Beberapa bahkan cenderung menyesatkan.
Berbicara kepada media asing sambil berjalan di pinggir kali di kampungnya di Solo, Jokowi antara lain membanggakan dua pencapaian penting selama kepemimpinannya. Dua hal itu ialah hukuman mati untuk narapidana kasus narkoba dan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Meski membuatnya populer, amat menyedihkan bahwa Jokowi bangga akan dua kebijakan yang bermasalah secara etik dan keblinger secara legal maupun empiris itu.
Selain dianggap melanggar prinsip hak asasi manusia dan politically incorrect, tak ada bukti nyata dua jenis hukuman kejam itu mengurangi kejahatan narkotik maupun seksual. Justru sebaliknya. Data pelanggaran dan penindakan oleh Badan Narkotika Nasional dari waktu ke waktu terus bertambah, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tak ada pula efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak.
Sejak masih menjadi Wali Kota Solo, Joko Widodo memang piawai mengemas apa yang ia kerjakan agar jadi berita yang renyah di media. Kemasan serupa membuatnya menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan popularitas tinggi, hingga kemudian mengantarnya menjadi presiden. Dan hari-hari ini, publik kembali disuguhi aneka drama serta angka-angka yang sekilas tampak menakjubkan.
Presiden menyempatkan datang dalam operasi tangkap tangan praktek pungutan liar di kantor Kementerian Perhubungan. Pencapaian tebusan amnesti pajak, yang diupayakan dengan berbagai cara dan menekan kanan-kiri, bisa tembus Rp 100 triliun. Presiden juga ikut berkeliling Papua guna memastikan Pertamina menjual harga bahan bakar minyak di wilayah itu dengan harga yang sama dengan di Jawa. Langkah luar biasa yang harus ditomboki perusahaan negara itu dengan biaya tak kecil dan subsidi ratusan miliar rupiah.
Banyak lagi contoh serupa. Setiap kali ada pertunjukan gegap-gempita, kita pun lupa akan soal-soal dan pekerjaan rumah lain yang terbengkalai, juga ekonomi yang masih lesu. Orang ramai tak lagi berbicara atau bertanya kabar proyek ambisius kereta cepat yang mangkrak. Kita tak ingat lagi ada proyek monorel Jakarta, yang acara peletakan batu pertamanya oleh Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI begitu meriah tapi kini seperti lenyap tanpa bekas.
Serunya operasi tangkap tangan, yang segera menjadi berita utama di media, juga membuat publik larut dalam bunga-bunga cerita kronologi dan kisah berseri dari pemeriksaan hingga peradilan. Problem mendasar birokrasi yang korup, sejak proses rekrutmen hingga jenjang kepangkatan yang hanya bisa jalan dengan pelicin dan sogokan, masih belum tersentuh. Dalam dua tahun pemerintahan ini, popularitas masih menjadi tujuan utama.