Ada tempat dan saat ketika pengalaman yang dahsyat terjadi pada hening dan kesendiriandan agama-agama mendapatkan energinya. Juga ambivalensinya. Di bawah pohon Bodhi, di puncak Tursina, di padang gurun, di Gua Hira.
Syahdan, ketika akhirnya Sidharta Gautama bersemadi di bawah pohon itu, ia sudah ditinggalkan kelima temannya. Mereka menilai pangeran yang jadi rahib pengembara itu tak suci lagi. Sidhartadalam keadaan yang hampir mati setelah berhari-hari memilih laparakhirnya menyantap makanan; ia sadar tubuhnya punya batas seperti orang kebanyakan. Tapi justru dalam tak adanya keinginan untuk memposisikan diri dalam kesempurnaan yang mustahil bagi orang kebanyakan itu, Buddha mendapatkan pencerahandan orang pada datang kepadanya.
Demikian juga Musa: ia naik ke pucuk Gunung Tursina. Tuhan melarangnya membawa orang lain untuk menemui-Nya. Tapi di sana ia dapatkan sesuatu yang bukan untuk dirinya sendiri. Ketika kemudian Musa turun, ia mengabarkan sepuluh perintah Yahweh buat Bani Israel. Hukum itu meneguhkan identitas orang-orang Yahudi sebagai satu komunitas.
Di padang gurun, Yesus juga sendiri, berpuasa 40 hari 40 malam. Iblis datang menggodanya dengan tawaran agar ia merengkuh kerajaan di dunia. Satu hal kelak akan dikatakannya lagi bahwa "Kerajaanku tidak di bumi". Tapi sementara itu, Yesusyang disebut sebagai "Raja" sejak bayi di palungan sampai dengan saat penyaliban di Golgothadalam perjalanannya juga disebut sebagai "Guru": ia dengan kata yang hidup, ia yang hendak berbicara, didengarkan, diikuti.
Di Gua Hira, Muhammad. Dalam kesendirian yang paling puncak itulah datang titah Allah untuk iqra. Tuhan memerintahkannya untuk "membaca" yang tertulis dan tak tertulis. Wahyu adalah sebuah pengalaman yang sublim. Tapi justru dengan itu jelas betapa pentingnya makna "membaca". Dalam kesendirian Muhammad, ditegaskan peran bahasa, sarana komunikasi yang dibentuk dan ditumbuhkan bersama orang lain.
Tapi bahasa yang menghubungkan pengalaman wahyu dengan orang lain bukan tanpa persoalan. Kedahsyatan wahyu mengguncang batas antara "aku" dan "yang lain", bahkan "aku" dengan "yang maha-lain". Chaos terjadi dalam kesadaran ruang dan waktu. Bahasa mencoba menyederhanakan kejadian itu. Bahasa berusaha membuatnya bisa dikomunikasikan, lebih jelas, lebih urut, lebih tertib, lebih bisa diterima orang banyak.
Agar tak membingungkan, kata hanya mengandung makna yang tak berubah. Untuk mengemukakan sesuatu yang baru, ia memakai bentuk yang sudah dikenal. Ia dipakai untuk menjaga stabilitas tafsir. Bahasa berangsur-angsur jadi konservatif. Kreativitas pun dijinakkan"awas, jangan aneh-aneh!"dan impuls untuk mengemukakan yang ganjil, yang berbeda, dipasung.
Tapi pada akhirnya bukan hanya makna yang terpasung oleh kata. Semua yang ada, yang tampak dan yang tak tampak, selamanya dikemukakan dalam bahasadan dengan demikian, dalam semua strata itu, tak ada yang bisa mengelak dari kungkungannya. Kita, untuk memakai sedikit hiperbola dari Deleuze, berada di bawah "imperialisme bahasa".
Dalam kehidupan agama, "imperialisme" itu terutama terasa ketika agama lebih dihayati sebagai, dalam kata-kata Gellner yang terkenal, the celebration of the community: ketika kehidupan agama bergerak untuk lebih memberi tempat buat orang ramaidengan bahasa, tentu saja, dengan kata-kata yang maknanya stabil, yang bunyinya diulang-ulang sampai konsensus terbentuk. Pendeknya, dengan bahasa yang membuat orang tak bertualang dan bereksperimen lagi.
Sesekali, puisi hendak membebaskan kita dari imperialisme itu. Ketika penyair Sutardji Calzoum Bachri ingin membebaskan kata dari makna, ia sebenarnya ingin membebaskan makna dari kata. Ia menyeru "pot", sepatah bunyi yang tak mengikat makna apa pun. Lebih luas lagi, penyair Subagio Sastrowardoyo ingin melepaskan seluruh strata dari bahasa. Ia memilih hening, "diam, merasakan keramahan/pada tangan yang menjabat dan mata merindu".
Dalam arti tertentu, diam seperti itu adalah diam yang berlangsung di bawah pohon Bodhi, di puncak Sinai, di padang gurun, di Gua Hira. Pengalaman yang radikal macam itu memang seakan-akan pengalaman di dunia yang tanpa bahasa. Tapi hanya seakan-akan. Sebab di kesendirian yang paling puncak itu pun bahasa tetap dipakai dan percakapan tetap berlangsung.
Tentu tak boleh dilupakan, bahasa dan percakapan di saat seperti itu bergabung dengan heningseperti sebuah doa yang khusyuk. Pengalaman yang dahsyat dan radikal itu tak sepenuhnya bisa diungkapkan. Tak bisa juga ia sepenuhnya transparan bagi umat, para murid, para pengikut, yang berada di waktu lain, di saat lain. Sebab yang benar-benar dahsyat sepenuhnya singular: tak terbandingkan. Di sini, orang akan menyebutnya "yang suci".
Tapi dalam the celebration of the community, yang suci juga tak dibiarkan sendirian. Orang membangun topografi. Kesucian yang tak terbandingkan itu perlu sebuah ruang tersendiri. Peta pun dibuat dan letak ditentukan: ada bagian paling suci, ada yang kurang suci, ada yang tak suci. Topografi jadi hierarki. Ruang pun sinonim dengan tingkatansesuatu yang sering direpresentasikan oleh pagoda, menara masjid, dan katedral. Pucuk bangunan itu menyempit, meninggi.
Pucuk itu sebuah metafora, tentu saja. Yang hendak dikiaskan adalah sebuah gerak energi yang dulu datang nun di puncak kesendirian, di pucuk hening, di bawah pohon Bodhi, di pucuk Tursina, di padang gurun, di Gua Hira.
Tapi kita tahu, kiasan ada untuk mewakili apa yang tak ada. Ketika hening yang dulu itu hilang, agama tak ikut hilang. Tapi ia jadi bagian "imperialisme bahasa".
Goenawan Mohamad