Putu Setia
Jika saya ditanya profesi apa yang paling tidak saya pilih, jawabannya adalah menjadi hakim. Saya cepat sekali jatuh iba. Dan saya orang yang sangat tidak tega. Bagaimana menghukum orang lain kalau saya sudah terlebih dulu sedih atas nasib orang yang saya hukum?
Seorang pencuri ternak yang mukanya babak belur bekas pukulan diajukan ke sidang pengadilan. Hakim menjatuhkan vonis 6 bulan penjara. Hakim yang kejam, pikir saya. Pencuri itu punya keluarga, punya anak. Siapa yang akan menghidupi istri dan anaknya itu? Pukulan yang dilakukan oleh massa yang memergoki dia seharusnya sudah impas. Kasihan, kata hati saya.
Para pejabat negara yang dibui karena korupsi pun bisa membuat saya sedih. Sudah berapa menteri yang masuk bui. Saya membayangkan kehidupan keluarganya pasti jatuh tersungkur. Mereka, yang sebelumnya dilayani, disanjung di mana-mana, dan istrinya mungkin memakai tas merek Hermes, tiba-tiba mendekam di penjara. Martabatnya jatuh. Apakah ada yang lebih nista dari jatuhnya martabat dan kehormatan kita sebagai manusia?
Kemarin, kembali saya bersimpati kepada seorang koruptor dan saya seperti ikut merasakan kedukaannya. Koruptor itu adalah Angelina Sondakh. Ia bekas orang hebat, ratu kecantikan, menjadi wakil rakyat "yang terhormat". Ia pernah mengacungkan tangan sambil berteriak: "Katakan tidak pada korupsi!" Saya yang memelototi televisi membatin: "cantik di wajah, cantik di perilaku, semoga cucuku kelak seperti dia". Eh, tiba-tiba dia dihukum 4 tahun 6 bulan karena korupsi. Hukuman yang berat untuk ibu muda yang baru ditinggal mati suaminya. Dan, aduh, hukuman itu kini membengkak menjadi 12 tahun penjara.
Kelemahan utama saya, ikut memikirkan kesedihan orang pada saat orang itu sudah waktunya bersedih. Seharusnya orang-orang itu sudah memprediksi kesedihannya tatkala dia berbuat tidak baik, saat melakukan korupsi atau mencuri ternak orang lain. Sang pencuri yang mukanya bengkak, seharusnya tahu bahwa ternak yang dicurinya ada yang memiliki dan menjadi tabungan yang menghidupi banyak orang. Angie--begitu Angelina Sondakh disapa-seharusnya tahu, ketika dia menerima duit miliaran rupiah, ada jutaan orang miskin yang harus dibiayai negara dari duit yang dia ambil itu.
Hukuman Angie berlipat hampir tiga kali di tangan majelis hakim MA yang dipimpin Artidjo Alkostar. Ia pun harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 39,6 miliar. "Supaya dia menyesal dan jera," kata istri saya, yang menonton Angie di acara infotainment. Angie sudah pasti menyesal dan jera sejak masuk bui. Ia seperti siap, tapi mungkin bukan untuk sepanjang 12 tahun. Mungkin pula tak berpikir untuk dimiskinkan. Jika sekarang ia bertambah-tambah sedih, sebaiknya kesedihan itu dipelajari oleh para koruptor yang belum tertangkap, yang masih asyik mengoleksi mobil dan rumah mewah.
Wahai para koruptor, percayalah, suatu saat Anda akan jatuh miskin bersama keluarga. Miskin martabat, nista harga diri, dan seharusnya miskin harta. Jutaan orang di negeri ini sedang berharap-harap ada puluhan Artidjo Alkostar yang akan mengubah kehidupan Anda, jika masih melakukan korupsi. Bahkan ada yang berharap hakim yang lebih hebat lagi dari Artidjo Alkostar dengan menjatuhkan vonis tambahan: kerja sosial menyapu jalan. Tapi saya tak berharap yang lebih hebat lagi, misalnya, menghukum mati. Jangan! Mati itu bukan hukuman karena tak bisa membuat orang menyesali dirinya, wong langsung mati.
Bahwa saya tetap sedih, itu pasti. Maka, jika ada yang kasihan melihat saya bersedih, ya, berhentilah korupsi sekarang juga. Titik.