Didik Suharjito
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB
Pekan-pekan ini, para pihak yang peduli dengan hutan sedang menggelar setidaknya dua hajatan nasional yang mengusung tema hutan untuk kesejahteraan rakyat. Pertama, Dewan Kehutanan Nasional (DKN) menyelenggarakan Semiloka Nasional Hutan Indonesia pada 1-3 September 2016 dalam rangka pra-Kongres Kehutanan Indonesia ke-VI dengan tajuk "Reposisi tata kelola hutan Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan rakyat". Kedua, Sarasehan Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa) pada 6-7 September 2016 dengan tajuk "Saatnya untuk Rakyat".
Kedua tema tersebut mengingatkan kita pada tema Kongres Kehutanan Dunia ke-8 pada 1978 di Jakarta, yaitu "Forest for People". Keduanya hendak menegaskan bahwa pembangunan kehutanan harus dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang bertempat tinggal di pedesaan sekitar atau dalam hutan, daerah pinggiran tempat sebagian besar penduduk Indonesia yang tergolong miskin berada.
Hutan untuk kesejahteraan rakyat adalah mandat yang sudah dicanangkan dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan 1967 dan disebutkan kembali pada Undang-Undang Kehutanan 1999. Program-program yang digelar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan bukanlah baru dimulai, melainkan sudah puluhan tahun lalu. Apa yang menciptakan semangat baru?
Program payung Perhutanan Sosial (PS) sepanjang periode 2015-2019 merupakan program strategis yang akan memberikan hak pengelolaan atas kawasan hutan negara seluas sekitar 12,7 juta hektare kepada masyarakat pedesaan di sekitar hutan. Angka luas lahan hutan itu masih tergolong kecil dibanding luas hutan negara. Namun, dibanding capaian pemberian hak pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada masyarakat sejak sekitar 20 tahun lalu, yang baru mencapai kurang dari 1 juta hektare, target 12,7 juta hektare dapat dianggap sebagai suatu lompatan.
Program PS direalisasi dalam bentuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, serta hutan adat sebagai wujud devolusi pengelolaan hutan kepada tingkat rumah tangga dan desa. Devolusi pengelolaan hutan berarti pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada masyarakat desa hutan.
Alokasi lahan hutan negara sebesar 12,7 juta hektare tersebut juga merupakan upaya mewujudkan keadilan distribusi penguasaan sumber daya hutan negara, yang selama ini dikuasai oleh perusahaan skala besar. Alokasi lahan itu setidaknya mengurangi ketimpangan penguasaan sumber daya hutan negara, belum lagi jika ditambah program distribusi tanah obyek reforma agraria (TORA) yang berasal dari kawasan hutan negara seluas sekitar 4,1 juta hektare. Meski demikian, alokasi untuk perusahaan skala besar masih jauh lebih besar, sekitar 40 juta hektare.
Program PS menunjukkan komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap "pembangunan mulai dari pinggiran". Target perluasan wilayah kelola PS seluas 12,7 juta hektare merupakan suatu tugas besar yang membutuhkan spirit yang kuat, dukungan organisasi dan manajemen yang tangguh, serta dana yang besar. Namun demikian, program PS ke depan tidak dapat dicapai dengan langkah-langkah biasa atau business as usual. Berbagai hambatan di tingkat lokal sampai pusat dalam bentuk konflik penguasaan lahan, kelembagaan masyarakat yang lemah, dukungan pemerintah daerah yang lemah, proses perizinan yang panjang dan lama, dan hal-hal lainnya harus dapat diatasi. Intinya adalah menguatkan kemauan politik pemerintah pusat dan daerah.
Permasalahan yang sangat krusial dihadapi dalam program PS adalah ketersediaan areal. Program PS perlu diintegrasikan dalam program pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pengelolaan hutan di tingkat tapak yang menunjukkan bahwa pemerintah hadir. Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial telah menyiapkan Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial, yang dapat menjadi acuan pencadangan areal program PS. Namun realisasinya bergantung pada kondisi di tingkat tapak/lapangan. Tugas KPH adalah: (1) mengidentifikasi penguasaan lahan hutan; (2) mengidentifikasi kelompok masyarakat yang akan menjadi pelaku program PS, mengidentifikasi lahan yang akan dialokasikan, memfasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat, dan memfasilitasi penguatan usaha-usaha berbasis hasil hutan (kayu, bukan kayu, jasa lingkungan); (3) jika ada sengketa lahan hutan, KPH melakukan resolusi konflik dan dapat meminta bantuan LSM dan/atau perguruan tinggi.
Area yang dialokasikan untuk program PS setiap tahun perlu diintegrasikan dengan program pembangunan KPH. Setiap tahun (sepanjang periode 2015-2019) akan dibangun program PS rata-rata seluas 2,54 juta hektare dan 120 KPH. Rata-rata setiap KPH menanggung 21 ribu hektare lahan.
Integrasi pembangunan PS ke dalam pembangunan KPH dapat meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap PS. Sebab, KPH adalah unit kerja di bawah pemerintah daerah. Program PS, dengan demikian, tidak lagi hanya urusan pusat yang tidak mengakar di daerah dan tingkat tapak.
Namun KPH masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia (kuantitas, kualitas, dan profesionalitas) serta infrastruktur untuk dapat menjalankan semua tugasnya dengan baik. Karena itu, beberapa organisasi kehutanan di daerah yang relevan, seperti Dinas Kehutanan, untuk sementara dapat menjalankan tugas-tugas KPH atau memutasi SDM dari unit-unit kerja yang telah ada. Penyuluh kehutanan, akademisi dari perguruan tinggi, dan pegiat LSM akan tetap sangat diperlukan perannya dalam penguatan kelembagaan masyarakat dan pengembangan usaha berbasis hasil hutan dari PS.