Khudori
Anggota Ahli Pokja Dewan Ketahanan Pangan Pusat
Mulai September ini konsumen daging memiliki alternatif baru: daging kerbau. Pada tahap awal, 9.500 ton daging kerbau asal India itu masuk sampai akhir September. Sisanya, sebanyak 70 ribu ton, didatangkan pada Oktober–Desember. Sebagai pengimpor, Bulog membanderol daging kerbau dengan harga Rp 60 ribu per kilogram.
Pemerintah yakin kehadiran daging kerbau akan mengerek turun harga daging sapi yang masih tinggi. Per 10 September 2016, menurut laman Kementerian Perdagangan, harga daging sapi secara nasional sekitar Rp 114.950 per kg. Dibanding sebelum dan saat Ramadan lalu, harga daging sapi cenderung turun, dari Rp 120-an ribu per kg, tapi masih jauh dari yang dijanjikan Presiden Jokowi: Rp 80 ribu per kg.
Benarkah daging kerbau akan efektif menekan harga daging sapi? Sebelum menjawabnya, ada baiknya dipahami terlebih dulu perbedaan daging sapi dan kerbau. Dari sisi tekstur, daging kerbau lebih keras ketimbang sapi, sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk dimasak. Daging sapi beraroma anyir, sedangkan daging kerbau tidak memiliki aroma spesifik. Dari sisi warna, daging kerbau lebih merah ketimbang daging sapi.
Dari sisi gizi, kalori daging sapi 2,5 kali dari daging kerbau, tapi kandungan protein keduanya hampir seimbang. Daging kerbau unggul dalam kandungan kalsium dan zat besi, serta lemak yang amat rendah. Dari sisi kesehatan, tentu daging kerbau lebih menyehatkan daripada daging sapi.
Masalahnya, masyarakat tak terbiasa dengan daging kerbau. Hampir bisa dipastikan angka konsumsi per kapita daging kerbau lebih kecil daripada daging sapi. Mungkin karena angka konsumsi daging kerbau tidak dicatat spesifik dalam statistik. Fakta-fakta ini berujung titik kepastian: tak mudah menggaet konsumen daging kerbau.
Saat ini India merupakan pengekspor terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20 persen pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor. Asia menerima lebih dari 80 persen daging kerbau India, Afrika sekitar 15 persen. Vietnam dan Malaysia, yang keduanya tertular penyakit mulut dan kuku (PMK), merupakan dua importir terbesar daging kerbau India dengan 52 persen pangsa pasar. India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor kerbau. Tapi PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dalam perdagangan internasional (Naipospos, 2016).
Untuk itu, ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah soal impor daging kerbau India ini. Pertama, ancaman perubahan status bebas PMK Indonesia. UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang membolehkan impor dari suatu zona bebas PMK dari sebuah negara yang belum bebas PMK, seperti India dan Brasil. Namun aturan ini sebenarnya menegasikan pentingnya kaidah keamanan maksimum. Bagi negara-negara bebas PMK, seperti Indonesia, penting memastikan impor ternak dan produknya bersumber dari negara dengan status sama. Jika PMK kembali berjangkit, kerugian yang ditimbulkan tak ternilai. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887–1986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai US$ 1,66 miliar. Selain itu, rasanya kurang elok karena aturan impor dari negara tertular PMK tengah diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi.
Kedua, perembesan daging kerbau India keluar wilayah Jabodetabek. Menurut pemerintah, daging kerbau India hanya untuk memasok pasar Jabodetabek karena pasar inilah yang selama ini dipasok daging sapi impor. Tapi, siapa yang menjamin daging kerbau India tidak merembes ke pasar-pasar tradisional di luar Jabodetabek? Jika itu terjadi, harga daging sapi lokal yang dua kali lipat dari kerbau akan terjun bebas. Pada gilirannya, peternak mutung dan pasar domestik sepenuhnya diisi daging impor.
Ketiga, kematian mata rantai industri daging sapi. Harga daging kerbau India yang murah, kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing. Ada baiknya belajar dari konsekuensi ekonomi yang dialami Filipina dan Malaysia. Mereka sudah lama mengimpor daging kerbau India. Dari 220 peternakan sapi potong teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, saat ini tinggal tujuh. Sabah, Malaysia, pada awal 1990-an yang biasa menyembelih sapi tiap tiga pekan, berhenti begitu saja dengan masuknya daging India (Naipospos, 2016). Daging kerbau yang rendah berpotensi memukul telak semua mata rantai industri daging sapi.
Industri daging sapi menjadi gantungan hidup jutaan pekerja. Peternak kecil, yang jumlahnya mencapai 5,1 juta rumah tangga, menguasai 98 persen atau 12,3 juta ekor sapi. Sebanyak 2 persen sisanya dipelihara oleh perusahaan. Meskipun hanya usaha sambilan, memelihara sapi jadi sumber penting pendapatan rumah tangga peternak. Dalam setahun, nilai ekonomi daging sapi lebih Rp 63 triliun. Itu belum menghitung nilai yang tercipta dalam industri pakan, pemotongan, pelayuan dan di hilir. Mata rantai ini berpeluang menyusut oleh serbuan daging kerbau India. Sudahkan pemerintah memikirkannya?