Terbongkarnya kasus dugaan pungutan liar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menunjukkan perilaku buruk itu belum berhenti. Kekecewaan publik terhadap pelayanan logistik bertambah manakala kasus tersebut menyeret Direktur Operasional dan Pengembangan Bisnis PT Pelindo III (Persero), Rahmat Satria.
Keterlibatan pemimpin badan usaha milik negara itu berawal dari penangkapan Direktur Utama PT Akara Multi Karya, Augusto Hutapea, oleh Satuan Tugas Dwelling Time Polres Pelabuhan Tanjung Perak dan Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Ketika dibekuk pada pekan lalu, Augusto sedang menerima sogokan dari importir di area PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS), anak usaha Pelindo III.
Akara Multi merupakan perusahaan swasta mitra TPS dalam pemeriksaan kontainer impor, karantina, dan fumigasi. Perusahaan tersebut dicurigai memaksa importir mengeluarkan biaya ekstra Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per kontainer. Dalam sebulan, dana yang diraup Rp 5-6 miliar.
Sebagai imbal balik pungli tersebut, Akara Multi hanya memeriksa satu atau dua kontainer milik importir. Importir juga diberi kemudahan dalam proses buka-tutup segel kontainer. Pungutan tak resmi ini berlangsung sejak 2014. Sedangkan Rahmat menjabat Direktur Utama TPS pada periode 2013-2014. Rupanya, para pengemplang itu tak gentar atas keberadaan Satgas Saber Pungli, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 pada Jumat pekan lalu.
Banyak risiko yang timbul dari pungli di pelabuhan. Pertama, pengawasan barang menjadi lemah. Kedua, biaya logistik akan meningkat. Padahal proporsi biaya logistik di Indonesia terhadap produk domestik bruto saat ini sudah mencapai 27 persen, lebih tinggi ketimbang di Malaysia yang hanya 15 persen atau di Jepang yang 10,6 persen.
Pungli juga melahirkan diskriminasi terhadap pemilik barang yang menolak membayar. Pengelola pelabuhan pasti akan mendahulukan importir yang royal. Akibatnya, terjadi antrean kontainer di pelabuhan yang membuat dwelling time (waktu tunggu kontainer di pelabuhan) sulit ditekan.
Satgas Saber Pungli harus bekerja lebih keras. Lembaga ini dituntut memaksimalkan kewenangannya yang terentang dari pembangunan sistem pencegahan pungli hingga melakukan operasi tangkap tangan.
Di sisi lain, kementerian dan lembaga juga harus membersihkan diri lebih dulu. Sudah jadi pengetahuan umum betapa luasnya praktek pungli di lingkungan kementerian, kejaksaan, dan kepolisian. Jangan sampai Satgas kehilangan wibawa gara-gara hendak membersihkan lingkungan dengan "sapu kotor".
Kerja Satgas juga diharapkan berlanjut dalam jangka panjang, tidak seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang hanya berumur dua tahun dan sarat dengan polemik. Pemberantasan pungli di sektor pelayanan publik butuh waktu panjang, juga napas panjang.