Perintah Presiden Joko Widodo agar polisi melakukan gelar perkara terbuka dalam kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama memunculkan pro dan kontra.
Jokowi mengeluarkan perintah itu dengan harapan publik bisa mengikuti proses hukum secara transparan.
Sejumlah organisasi Islam menuntut agar Ahok secepatnya diseret ke jalur hukum. Ahok pada September lalu berpidato di Kepulauan Seribu sambil menyinggung Surat Al-Maidah 51. Hal tersebut melahirkan demo besar pada 4 November lalu. Gubernur Jakarta itu dituding melecehkan Al-Quran.
Di tengah tekanan luar biasa dari demonstran, perintah ini cukup masuk akal. Namun membuka gelar perkara akan melahirkan komplikasi. Proses hukum bisa-bisa disetir oleh desakan opini publik.
Meski tak melanggar aturan, gelar perkara terbuka menyimpang dari kebiasaan. Selama ini, gelar perkara bukan untuk konsumsi umum. Yang hadir biasanya hanya penyidik dan petugas lainnya. Bila perlu, polisi bisa mengundang pelapor, terlapor, dan saksi ahli. Tapi polisi akan merahasiakan materi gelar perkara.
Tak semua bahan gelar perkara bisa dibuka kepada publik. Berdasarkan Peraturan Kepala Polri tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, gelar perkara di awal penyidikan dilakukan, antara lain, untuk menentukan status perkara pidana atau bukan, pasal pidana, tersangka, bukti permulaan, serta strategi penyidikan. Bisa dibayangkan, betapa kacaunya penyidikan bila semua hal penting itu diumbar sejak awal.
Sejauh ini, secara hukum belum bisa diputuskan apakah ungkapan Ahok soal Surat Al-Maidah 51 itu disertai niat untuk menebar permusuhan. Padahal, dalam menakar tindak pidana, unsur niat jahat (mens rea) sangat penting. Ahok telah membantah punya niat menistakan Islam. Argumentasinya sangat masuk akal. Bagaimanapun, ketika maju dalam pencalonan gubernur, Ahok tentu mengharapkan dukungan warga Jakarta yang mayoritas muslim.
Baik kubu pro maupun anti-Ahok, keduanya sama-sama bermain di wilayah tafsir. Dalam menyidik perkara ini, polisi akan sangat bergantung pada pendapat ahli agama dan ahli bahasa. Andai gelar perkara dilakukan terbuka, saksi ahli bisa menghadapi dilema. Bila menyatakan Ahok tak layak dipidana, si ahli bisa berhadapan dengan massa yang menginginkan Ahok dipenjara. Sebaliknya, kalau menyatakan Ahok layak dipidana, si ahli boleh jadi berurusan dengan pendukung Ahok yang tak kalah emosional. Dengan kata lain: gelar terbuka akan membahayakan independensi saksi.
Sulit dimungkiri, kepercayaan sebagian masyarakat kepada polisi sangat rendah. Menutup rapat pengusutan kasus Ahok pun bukan pilihan bijak. Bila kasus ini sampai berhenti di tengah jalan, orang yang telanjur marah akan sulit menerima apa pun penjelasan polisi. Terlebih bila pengusutannya tidak transparan.
Plus-minus kedua pilihan inilah yang harus diantisipasi polisi. Ada baiknya polisi membuka dan menutup gelar perkara secara selektif. Aspek tertentu dari pemeriksaan dapat mereka buka, namun aspek lain tetap berlangsung tertutup.