Sungguh penting polisi mengungkap serangan bom molotov di Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda, Ahad lalu. Teror merupakan kejahatan keji yang harus diberantas. Menjadi kewajiban negara pula menjamin kebebasan beragama dan memberi rasa aman bagi seluruh rakyat.
Pengusutan hingga tuntas perlu dilakukan karena Juhanda, tersangka pelaku bom Samarinda, diyakini tidak bekerja sendirian. Pria kelahiran Bogor, 32 tahun lalu, tersebut adalah anggota kelompok Jamaah Ansharut Tauhid Kalimantan Timur. Jaringan ini diduga berhubungan dengan kelompok Fauzan Al-Anshori, yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Masih banyak pula orang yang sepaham dan senekat Juhanda di berbagai wilayah di negeri ini. Ratusan orang Indonesia yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah juga telah banyak yang kembali ke Tanah Air. Ancaman juga datang dari residivis lain kasus terorisme seperti Juhanda.
Sebelumnya, Juhanda merupakan pelaku teror bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Serpong, Tangerang Selatan, pada Maret 2011. Realitas ini amat merisaukan. Banyak residivis yang tak insyaf setelah keluar dari penjara.
Jaringan residivis dan orang-orang yang berafiliasi dengan ISIS itu seolah menemukan momentum baru untuk bergerak. Suasana politik sekarang sedang memanas akibat isu dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon inkumben Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Suasana yang panas berkaitan dengan sentimen ras dan agama itu kebetulan muncul menjelang perayaan Natal dan tahun baru. Masih ingat di benak banyak orang, berkembangnya teror di Indonesia justru dimulai dari serangan pada perayaan Natal tahun 2000. Belasan gereja di Jakarta, Batam, Mataram, Mojokerto, dan beberapa kota lain menjadi korban. Sejak saat itu, teror yang lebih besar muncul, dari bom Bali hingga serangan di Jalan Thamrin, Jakarta.
Itulah yang perlu diantisipasi pemerintah. Pemantauan perlu dilakukan lebih intensif terhadap aktivitas orang-orang yang dicurigai berpotensi melakukan teror. Kepolisian juga perlu membatasi ruang gerak mereka sekaligus mengawasi penjualan bahan peledak dan membasmi penjualan senjata api gelap.
Jangan lupa, pemerintah perlu segera pula memperbaiki program deradikalisasi agar bekas narapidana kasus teror tak tergoda kembali melakukan kegiatan yang berbahaya. Kisah Juhanda menunjukkan kegagalan pemerintah menjinakkan para napi kasus terorisme.
Semua langkah itu harus dilakukan demi menjaga kebebasan beragama dan beribadah yang dijamin konstitusi. Teror seperti yang terjadi di Samarinda jelas ditujukan untuk merontokkan sendi penting dalam kehidupan bernegara itu. Dan pemerintah selayaknya tidak membiarkan kebebasan sebagian rakyat terampas dalam menjalankan keyakinan dan agamanya.