Haryo Kuncoro
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Pelonggaran kebijakan moneter melalui pemotongan 7-days Reverse Repo Rate ini telah diberlakukan pada 22 September lalu. Repo Rate kini berada di level 5 persen, turun 50 basis point dari posisi April saat diperkenalkan pertama kali sebagai suku bunga acuan yang baru menggantikan BI Rate.
Dalam pandangan Bank Indonesia, pelonggaran kebijakan moneter diambil sebagai respons atas perkembangan makroekonomi yang semakin kondusif. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, sudah mulai menggeliat, tumbuh 4,91 persen pada triwulan pertama, naik menjadi 5,18 persen pada semester awal.
Laju inflasi dalam batas tertentu masih dalam kendali otoritas moneter. Hingga Agustus, inflasi tahunan hanya 2,79 persen, jauh di bawah sasaran 4 persen. Nilai tukar dalam tiga bulan terakhir menguat akibat arus dana yang masuk melalui program pengampunan pajak. Imbasnya, cadangan devisa per akhir Agustus menembus US$ 110 miliar.
Kondisi eksternal turut mendukung relaksasi kebijakan moneter. Sebelumnya, The Fed, bank sentral Amerika Serikat, mengumumkan penundaan kenaikan suku bunga acuannya. Faktor Brexit di Eropa, stagnasi konsumsi di Jepang, dan lambannya pemulihan ekonomi Cina sedikit meredakan risiko ketidakpastian global.
Bagi pelaku pasar domestik, relaksasi moneter ini sesuai dengan harapan. Kebijakan tersebut merupakan momen yang ditunggu sebagai sinyal positif guna membangkitkan optimisme. Dunia usaha berharap semakin murahnya suku bunga kredit yang akan mereka bayar.
Industri perbankan juga menaruh asa agar likuiditasnya segera menguat. Pemangkasan suku bunga acuan yang dibarengi dengan pemotongan suku bunga deposit facility menjadi 4,25 persen dan lending facility menjadi 5,75 persen melambungkan harapan semakin derasnya ekspansi kredit.
Momen positif di atas sangat boleh jadi akan diganggu oleh potensi kenaikan suku bunga acuan Fed Fund Rate sampai akhir tahun. Pidato Gubernur bank sentral Amerika Serikat Janet Yellen saat mengumumkan penundaan Fed Rate, sehari sebelum BI memotong Repo Rate, memberikan isyarat kenaikan Fed Rate, meski belum menyebutkan waktunya.
Kekhawatiran yang muncul adalah pelarian modal ke luar negeri. Dalam pasar keuangan global yang semakin terintegrasi, suku bunga yang berlaku di satu negara normatifnya akan mendekati suku bunga negara lain, baik besaran maupun arah perubahannya.
Pengalaman pada awal tahun ini memberikan pelajaran berharga. Setelah lama stagnan di posisi 0,25 persen, Fed Rate dinaikkan sebesar 25 basis point pada Desember 2015 menjadi 0,5 persen yang berlaku hingga sekarang. Sebaliknya, BI pada Januari 2016 menurunkan BI Rate menjadi 7,25 persen. Akibatnya, gejolak pasar keuangan domestik pun tak terhindarkan.
Menurut agenda yang tertulis di situs resmi masing-masing bank sentral, jadwal The Fed mengumumkan keputusannya lebih dulu (selang satu hari) dibanding jadwal Rapat Dewan Gubernur BI. Artinya, BI bisa mengambil keputusan setelah mengetahui strategi keputusan The Fed.
Jika strategi yang ditempuh The Fed adalah menunda kenaikan suku bunga acuannya, apa pun keputusan yang diambil oleh BI akan memberikan imbas minimum. Perekonomian nasional tidak memperoleh manfaat lebih dan juga tidak menanggung kerugian besar jika Repo Rate dipangkas atau dipertahankan.
Namun apabila The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuannya, apa pun keputusan BI terhadap Repo Rate (terutama jika Repo Rate diturunkan), berakibat pada masifnya pelarian modal ke luar negeri seperti kekhawatiran awal. Alhasil, pengalaman pahit ketidakefektifan BI Rate bisa terulang.
Implikasi dari pelarian modal adalah aset finansial berdenominasi rupiah milik asing akan ditukar dengan dolar untuk dipindahkan ke negaranya. Artinya, permintaan terhadap dolar melesat tajam. Apabila pasokannya tipis, cadangan devisa tersedot untuk memenuhi tingginya kebutuhan valuta asing. Dampak akhirnya adalah nilai tukar rupiah merosot.
Tampaknya tantangan Repo Rate sampai akhir tahun ini terkait kental dengan isu arus modal, cadangan devisa, dan nilai tukar. Alhasil, trade-off niscaya terjadi. Mengejar stabilitas internal (inflasi, suku bunga, dan likuiditas perbankan) akan mengesampingkan stabilitas eksternal; demikian pula sebaliknya.
Lain halnya jika rilis data terakhir mempertebal keyakinan atas prospek ekonomi dalam negeri, BI bisa merancang kebijakan moneternya terlepas dari keputusan The Fed. Itulah strategi optimal BI. Hanya dengan bekal fundamental ekonomi domestik yang kokoh, keputusan BI bisa mandiri tanpa terikat lagi oleh kebijakan negara lain.
Dalam cakupan yang lebih luas, kebijakan moneter BI terlepas dari bayang-bayang kenaikan Fed Rate menjadi sinyal kepada dunia internasional bahwa pasar keuangan Indonesia semakin kondusif. Penurunan bertahap Repo Rate selama empat bulan terakhir menjadi isyarat risiko keuangan yang semakin kecil.
Apa pun strategi The Fed, relaksasi moneter masih bisa ditempuh melalui pemangkasan giro wajib minimum atau kebijakan makroprudensial lainnya. Kedua jalur ini komplementer terhadap aturan LTV (loan to value) dan FTV (financing to value) yang telah dilonggarkan sebelumnya.
Dengan konfigurasi masalah di atas, sisi positifnya adalah BI terdorong semakin jeli dalam menempatkan kebijakannya di lingkungan mikro-meso-makro-global. Maka, kepentingan perekonomian domestik tetap terakomodasi tanpa mengorbankan perspektif internasionalnya.