Masihkah TVRI Relevan?
Penguatan TVRI tak mungkin berjalan tanpa desain regulasi yang menopangnya.
Empat belas tahun sejak reformasi penyiaran berlalu, dewan dan direksi silih berganti, namun nasib TVRI masih saja sama: antara ada dan tiada. TVRI seolah tenggelam dalam hiruk-pikuk dinamika penyiaran saat ini dan gagal menjadi relevan di tengah publik.
TVRI tak ubahnya stasiun televisi swasta lainnya. Banyak programnya yang merupakan tiruan dari program televisi swasta. Sementara di RCTI ada Dahsyat, TVRI punya Keren. Sialnya, bukan lebih baik, Keren bahkan jauh dari kategori layak tonton. Indikasi lain dari kegamangan identitas TVRI sebagai televisi publik adalah maraknya program yang disponsori Istana. Program seperti Sudut Istana dan banyak acara dialog lain di stasiun itu tak lebih dari etalase berbagai program kerja kementerian. Dua contoh tersebut merupakan tanda kegagalan TVRI dalam memahami konsep televisi publik.
Proses pemilihan Dewan Pengawas TVRI, yang telah dimulai pada 25 Agustus lalu,merupakan momentum berharga untuk merumuskan kembali konsep TVRI sebagai televisi publik. Karena itu, panitia seleksi bentukan Kementerian Komunikasi dan Informasi mesti memiliki pemahaman yang utuh mengenai televisi publik.
Televisi publik adalah konsep yang berbeda dengan televisi swasta atau pemerintah. Secara konseptual, perbedaan tersebut terletak pada bayangan mengenai siapa yang menonton. Kitley (2001) berargumentasi bahwa pembayang tentang penontonlah yang mengarahkan seluruh proses produksi. Sementara televisi swasta membayangkan penontonnya sebagai konsumen dan televisi pemerintah membayangkan penontonnya sebagai konsituen (pemilih), televisi publik mestinya membayangkan penontonnya sebagai publik.
Keberhasilan televisi publik idealnya tidak diukur dari sejauh apa ia mampu mendatangkan iklan atau membangun citra positif dari pemerintah berkuasa. Sebaliknya, hal ini bergantung pada sejauh apa lembaga tersebut mampu melayani kebutuhan publik yang beragam, termasuk merepresentasikan suara-suara minoritas.
Dewan Pengawas berperan penting mendefinisikan publik TVRI. Sebagai contoh,British Broadcasting Company(BBC) membagi publik Inggris menjadi beberapa bidang. Misalnya, publik politik dalam konteks Inggris bisa dipetakan menjadi sosialis, konservatif, dan liberal. Dalam konteks agama, BBC memetakannya menjadi Katolik, Protestan, Islam, dan ateis. Berpegang pada definisi tersebut, BBC merancang program yang mampu memenuhi berbagai spektrum ideologi politik serta agama yang ada. Berbekal visi publik inilah Dewan Pengawas dalam konteks TVRI danboarddalam konteks BBC mengevaluasi kinerja direksi. Kemampuan merumuskan visi publik itulah yang perlu menjadi dasar bagi panitia seleksi untuk menilai kelayakan calon Dewan Pengawas nantinya.
Masalah TVRI yang lain adalah pendanaan. Minimnya pendanaan merupakan faktor yang turut membuat stasiun ini kesulitan membuat program yang bermutu. Tahun ini, pemerintah memang telah menaikkan pagu anggaran TVRI dalam APBN dari Rp 800 miliar pada tahun lalu menjadi Rp 1,6 triliun saat ini. Namun ini masih sangat jauh dibanding biaya operasional program RCTI, yang pada 2012 saja mencapai Rp 2,5 triliun. Televisi publik memang berbeda dengan televisi swasta, tapi fakta bahwa kualitas program terkait erat dengan pendanaan tidak bisa dipungkiri.
Salah satu opsi pendanaan yang mungkin bagi TVRI adalah dengan membuat kebijakan yang mengalokasikan sebagian dari pajak iklan televisi swasta untuk membiayai stasiun televisi tersebut.Opsi lainnya adalah memungut dana dari publik. Meski opsi terakhir itu sulit dilakukan di tengah rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah, inilah yang paling dekat dengan semangat televisi publik sebagai lembaga independen. Hanya dengan sumber pendanaan yang berada di luar APBN-lah TVRI bisa terbebas dari politik anggaran di DPR. Pada akhirnya, opsi mana pun yang dipilih pemerintah nantinya, dua hal perlu menjadi pertimbangan, yaitu kecukupan dana dan independensi.
Pendanaan TVRI, yang berasal dari APBN, juga menimbulkan masalah lain, yakni biroksasi yang panjang. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencairkan dana membuat TVRI tidak kompetitif. Sulit bagi TVRI merespons peristiwa-peristiwa yang terjadi mendadak, seperti bencana alam atau konflik yang terjadi di berbagai daerah karena biaya peliputan tidak dianggarkan dalam pagu anggaran. Jika pemerintah menghendaki TVRI menjadi lembaga penyiaran publik yang kuat, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005 tentang lembaga penyiaran publik perlu ditinjau kembali.
Namun dana tak boleh begitu saja diberikan tanpa memastikan dana publik yang dikelola TVRI sepenuhnya kembali ke publik dalam bentuk layanan program. Kita tentu masih ingat beberapa kali kasus korupsi terjadi di TVRI. Paling akhir adalah yang menimpa Mandra. Agar hal serupa tidak terulang, dibutuhkan implementasi manajemen profesional yang mengusung semangat keterbukaan di tubuh TVRI. Dengan latar belakang demikian,salah satu tugas utama Dewan Pengawas adalah membangun sistem audit keuangan dan efektivitas kerja yang profesional.
Penguatan TVRI tak mungkin berjalan tanpa desain regulasi yang menopangnya. Persoalan TVRI tidak bisa hanya diselesaikan dengan sebatas pemilihan Dewan Pengawas atau direksi nantinya. Tanpa dukungan nyata pemerintah lewat pendanaan dan regulasi, siapa pun yang kelak terpilih sebagai Dewan Pengawas akan tersandera oleh masalah yang sama. Karena itu, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2005mesti dilakukan sebelum Dewan Pengawas terpilih atau minimal secara bersamaan. Jika tidak, saya khawatir Dewan Pengawas dan direksi terus berganti, tapi TVRI masih saja akan seperti yang kita saksikan hari ini. MUHAMAD HEYCHAEL DIREKTUR REMOTIVI