Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menuju World Culture Forum

image-profil

image-gnews
Iklan

Agus Dermawan T.
Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden

World Culture Forum (WCF) II akan digelar di Bali Nusa Dua Convention Center pada 10-14 Oktober 2016 dengan tema "Culture for An Inclusive Sustainable Planet". Forum ini mendaftar 1.800 tamu dari 65 negara yang terdiri atas tokoh budaya internasional, penerima Hadiah Nobel, menteri dan direktur kebudayaan seluruh dunia, serta akademikus. Sebagai penulis kebudayaan terundang (namun berhalangan datang), saya menjunjung WCF lewat artikel ini sebagai bahan refleksi.

Sejumlah koran edisi 29 November 2013 memuat berita kekacauan dalam Festival Musik Dunia di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma, Sukawati, Bali, 27 November tahun itu. Acara ini adalah perhelatan pamungkas WCF I, yang digelar pada 24-27 November 2013 di Bali. Kekacauan acara disebabkan oleh padamnya listrik selama dua jam dan kurangnya persediaan makanan, sehingga sebagian besar dari 500 delegasi kesenian dunia kelaparan. Peristiwa itu "melengkapi" kekacauan beberapa hari sebelumnya dalam Festival Musik Etnik Dunia di Denpasar Art Center. Hujan yang mengguyur tak diperhitungkan penyelenggara, sehingga para tamu dan pemusik lari terbirit-birit untuk berteduh. Sebagian pemusik pun batal tampil.

Sejak jauh hari, banyak orang yang khawatir akan munculnya kejadian seperti itu. Setidaknya setelah pers mengamati kekacauan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta pada Oktober 2013, yang dianggap sebagai "pemanasan" sebelum WCF I. Kontroversi pemilihan sejumlah pembicara sampai kelambanan pengundangan (sehingga banyak kursi kosong) adalah beberapa buktinya.

Masyarakat tahu benar bahwa kongres itu, termasuk WCF I, dicoba sebisanya dilaksanakan sendiri oleh para pekerja institusi negara, seperti Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara ini tidak dikerjakan oleh event organizer (EO), panitia profesional. Sebuah upaya elok yang patut diapresiasi. Namun, ketika upaya ini tidak optimal dan terkesan cuma coba-coba, khalayak merasa dirugikan. Apalagi perhelatan budaya ini selalu menelan biaya amat tinggi.

Sesungguhnya, pada masa sebelum 2000, atau era Orde Baru, pemerintah memang selalu bekerja sendiri untuk menuntaskan berbagai kegiatannya. Apabila perhelatannya besar, institusi terkait baru memanggil para ahli untuk memberikan pengarahan dan bobot penyelenggaraan. Dalam pelaksanaan, tenaga-tenaga dari pemerintahlah yang bekerja. Dengan sistem kerja seperti itu, penyelenggaraan kegiatan budaya (dan seni) dalam beragam skala berlangsung lancar selama puluhan tahun. Dan para ahli yang diperbantukan, dengan honorarium yang senantiasa disunat, anehnya selalu setia dengan semboyan: kerja untuk negara dan bangsa.

Wajar bila ketidaksempurnaan WCF I memunculkan dugaan bahwa jajaran Direktorat orde sekarang memang kurang mampu membikin acara sebesar itu. Musababnya, belasan tahun sebelumnya, Direktorat terlalu kerap menggunakan jasa EO untuk menggelar acara akbar. Tak bisa dimungkiri, penyerahan tanggung jawab kerja kepada EO menyebabkan kurangnya kecakapan jajaran Direktorat dalam melahirkan peristiwa yang lancar dan bermutu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tahu bahwa EO adalah perencana dan pelaksana berbagai kegiatan. Peran EO amat kompleks, dari soal penentuan waktu dan anggaran hingga publikasi serta keamanan. Kompleksitas itu mendorong EO merekrut orang-orang yang ahli di setiap bidang terkait.

Keberadaan EO disambut baik oleh pemerintah. Penyambutan ini didorong beberapa faktor. Pertama, kepraktisan, lantaran pemerintah akhirnya hanya menyediakan dana pelaksanaan. Kedua, EO bisa menolong pemerintah dalam menyempurnakan dan merealisasi gagasan. Ketiga, EO bisa menggantikan tenaga-tenaga pemerintah yang tidak (atau belum) mampu bekerja optimal. Walhasil, pemerintah pun cuma memposisikan diri sebagai konseptor dan fasilitator.

Dengan begitu, penggunaan jasa EO amat berpotensi menyusutkan spirit aparat pemerintah untuk berpikir tajam, luas, dan jauh karena mereka menganggap dirinya hanya perlu memberikan gagasan dasar untuk dikembangkan oleh EO. Kita sah-sah saja membayangkan, jika sistem kerja semacam ini berlangsung lebih dari satu dekade, kemampuan berpikir dan keterampilan aparat pemerintah akan tumpul.

Masyarakat tidak tahu apakah pelaksanaan WCF II pekan depan mendayagunakan EO atau tidak. Apabila menggunakan EO, panitia ini harus sepenuh-penuhnya memikul tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah. Apabila tidak menggunakan EO, jajaran Direktorat mesti bekerja keras menajamkan kemampuannya setelah berbilang tahun kemampuan itu tumpul akibat penggunaan EO. Pengalaman tiga tahun silam layak menjadi bahan refleksi.

Kita boleh yakin, Direktorat di bawah pimpinan Hilmar Farid sanggup melaksanakan WCF II dengan relatif sempurna. Mata dunia siap menyorotinya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Bamsoet Dukung Rencana Touring Kebudayaan

3 hari lalu

Bamsoet Dukung Rencana Touring Kebudayaan

Bamsoet mendukung rencana touring kebudayaan bertajuk "Borobudur to Berlin. Global Cultural Journey: Spreading Tolerance and Peace".


Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

7 hari lalu

Wan Chai, Hong Kong. Unsplash.com/Letian Zhang
Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

Museum Sasta Hong Kong akan dibuka pada Juni


Indonesia dan Jerman Sepakat Tingkatkan Kerja Sama Budaya

42 hari lalu

 Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Siti Nugraha Mauludiah (kedua dari kiri) dan Duta Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia Ina Lepel (kedua dari kanan) menandatangani Pernyataan Kehendak Bersama tentang operasional Goethe-Institut di Indonesia di Goethe-Institut Jakarta, Kamis, 14 Maret 2024. Direktur Regional Goethe-Institut untuk Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru Dr Stefan Dreyer (kanan) dan Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI Ani Nigeriawati (kiri) menyaksikan penandatanganan ini. Sumber: dokumen Kedutaan Besar Jerman di Jakarta
Indonesia dan Jerman Sepakat Tingkatkan Kerja Sama Budaya

Indonesia dan Jerman menandatangani Pernyataan Kehendak Bersama untuk meningkatkan dan mempromosikan hubungan budaya kedua negara.


3 Tradisi Unik Jelang Ramadan di Semarang dan Yogyakarta

49 hari lalu

Sejumlah warga mengikuti tradisi keramas bersama di bantaran Sungai Cisadane, Kota Tangerang, Banten, Selasa, 21 Maret 2023. Tradisi keramas bersama tersebut sebagai simbol membersihkan diri menjelang Ramadan. ANTARA FOTO/Fauzan
3 Tradisi Unik Jelang Ramadan di Semarang dan Yogyakarta

Menjelang Ramadan, masyarakat di sejumlah daerah kerap melakukan berbagai tradisi unik.


Terkini: Anies dan Ganjar Kompak Sindir Politisasi Bansos di Depan Prabowo, Ide BUMN Jadi Koperasi Pengamat Sebut Pernyataannya Dipelintir

5 Februari 2024

Terkini: Anies dan Ganjar Kompak Sindir Politisasi Bansos di Depan Prabowo, Ide BUMN Jadi Koperasi Pengamat Sebut Pernyataannya Dipelintir

Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan kompak menyindir politisasi bantuan sosial atau Bansos di depan Prabowo Subianto dalam debat Capres terakhir.


Prabowo Janjikan Dana Abadi Budaya, RI Sudah Punya Anggaran Rp 2 Triliun di APBN

5 Februari 2024

Prabowo Janjikan Dana Abadi Budaya, RI Sudah Punya Anggaran Rp 2 Triliun di APBN

Segini besar anggaran dana abadi budaya yang sudah dikantongi Kementerian Keuangan sebelumnya.


Debat Capres Usung Tema Kebudayaan, Apa Harapan Budayawan, Pekerja Seni, dan Sastrawan?

2 Februari 2024

Capres nomor urut 1 Anies Baswedan, Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto saat mengikuti debat ketiga Calon Presiden 2024 di Istora Senayan, Jakarta, Minggu, 7 January 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Debat Capres Usung Tema Kebudayaan, Apa Harapan Budayawan, Pekerja Seni, dan Sastrawan?

Debat capres terakhir, 4 Februari 2024 salah satunya mengusung tema kebudayaan. Begini harapan budayawan, pekerja seni, dan sastrawan?


Anies Baswedan Janjikan Yogyakarta sebagai Kancah Baur Budaya dalam Desak Anies, Ini Artinya

24 Januari 2024

Gubernur DIY Sri Sultan HB X menemui capres 01 Anies Baswedan di Yogyakarta Rabu (24/1). Tempo/Pribadi Wicaksono
Anies Baswedan Janjikan Yogyakarta sebagai Kancah Baur Budaya dalam Desak Anies, Ini Artinya

Anies Baswedan janji kepada warga Desak Anies di Rocket Convention Hall, Sleman, Yogyakarta. Anies menjanjikan Yogyakarta menjadi Kancah Baur Budaya.


Mengenal Apa Itu Globalisasi, Penyebab, hingga Dampaknya

23 Januari 2024

Globalisasi adalah proses integrasi dan interaksi antar negara. Ketahui pengertian globalisasi, penyebab, hingga dampaknya di artikel ini. Foto: Canva
Mengenal Apa Itu Globalisasi, Penyebab, hingga Dampaknya

Globalisasi adalah proses integrasi dan interaksi antar negara. Ketahui pengertian globalisasi, penyebab, hingga dampaknya di artikel ini.


Indonesia Terpilih Jadi Ketua Pokja Budaya dan Pariwisata ASEAN Korea Centre

18 Januari 2024

Indonesia terpilih memimpin Kelompok Kerja Pariwisata dan Budaya ASEAN Korea Centre periode 2024. Sumber: dokumen KBRI Seoul
Indonesia Terpilih Jadi Ketua Pokja Budaya dan Pariwisata ASEAN Korea Centre

Indonesia terpilih untuk menjadi Ketua Pokja Budaya dan Pariwisata ASEAN Korea Centre dari 11 perwakilan negara anggota ASEAN di Seoul