Tidak netralnya pegawai negeri sipil dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 sangat disayangkan. Hal ini mencederai demokrasi dan menodai prinsip yang melandasi pegawai negeri yang memiliki nilai dasar, kode etik, perilaku, komitmen, integritas moral, serta tanggung jawab kepada pelayanan publik.
Pilkada serentak 2017 telah memasuki tahap kampanye yang baru berjalan dua pekan. Namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah menerima 44 laporan yang dikategorikan sebagai pelanggaran netralitas pegawai negeri sipil dari 94 laporan yang masuk dari seluruh panitia pengawas pemilu. Itu pun belum termasuk laporan dari DKI Jakarta.
Keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS) dalam pilkada tak lepas dari kondisi birokrasi yang tidak sehat. Kondisi itu dimanfaatkan oleh partai politik, baik dalam memobilisasi massa maupun memanipulasi pilihan. Ketidaknetralan PNS bisa berupa penyalahgunaan wewenang, seperti menerbitkan aturan kampanye kepada bawahan, mengumpulkan dana bagi parpol tertentu, dan memberikan fasilitas dinas atau negara.
Birokrasi yang tak sehat ditandai oleh promosi jabatan yang tidak sepenuhnya ditentukan berdasarkan kompetensi dan kinerja. Dalam birokrasi ini, afiliasi politik dan kedekatan dengan kepala daerah terpilih sangatlah penting untuk kelancaran karier. Bahkan tak mustahil PNS yang netral dan tidak berperan dalam kemenangan kandidat akan terhambat dalam karier atau mungkin dimutasikan. Walhasil, banyak birokrat memilih mengingkari sumpah jabatan dengan mengingkari netralitas.
Dalam banyak aduan, alasan mereka yang tidak netral itu adalah demi mendukung atasannya sebagai inkumben. Bawaslu harus lebih jeli mengawasi, karena ada 105 inkumben dari total 622 orang peserta pilkada serentak 2017. Para calon inkumben itu berpotensi menjadi pemenang karena ketidaknetralan birokrat ini.
Belajar dari pilkada serentak 2015, terdapat 56 laporan yang diserahkan Bawaslu kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN/RB). Namun banyak rekomendasi dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang tidak dilaksanakan oleh pejabat pembina kepegawaian, yang merupakan kepala daerah. Akibatnya, PNS yang terbukti melakukan pelanggaran tidak mendapat sanksi sama sekali.
Usul KASN agar sanksi langsung dijatuhkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) patut dipertimbangkan. Upaya pembinaan dan penegakan disiplin juga perlu terus dilakukan, misalnya melalui surat edaran pentingnya menjaga netralitas. Langkah KASN membentuk tim investigasi untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran netralitas PNS yang diserahkan Bawaslu juga patut diapresiasi. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, KASN bisa merekomendasikan kepada presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap pejabat pembina kepegawaian yang tidak menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan.