Polisi terkesan sekadar mencari "jalan aman" saat menetapkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai tersangka. Proses hukum atas dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki seharusnya berlangsung secara independen dan obyektif, tanpa intervensi ataupun tekanan kelompok mana pun.
Apa yang disimpulkan Markas Besar Polri ihwal kasus Basuki menunjukkan kemenangan pragmatisme atas prinsip-prinsip hukum yang obyektif. Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian boleh saja mengatakan penetapan tersebut murni obyektif. Sebelum keputusan diambil juga disebutkan terjadi perdebatan sengit di kalangan penyidik. Namun "aroma" bahwa polisi tertekan oleh aksi para demonstran pada 4 November lalu tak terhindarkan.
Semua berpangkal pada ucapan Basuki tentang pemilihan gubernur dan kaidah pemimpin menurut isi Surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu pada 27 September lalu. Penyelidikan polisi sudah membuktikan bahwa ucapan Ahok itu sebenarnya berbeda redaksi dengan yang banyak tersebar di media sosial-yang kemudian dijadikan alat bukti untuk mengadukan Ahok atas dasar pasal penistaan agama ke kepolisian. ??
Dalam gelar perkara terbuka terbatas Selasa lalu pun, seorang saksi ahli yang dihadirkan kepolisian telah mengungkapkan bahwa Ahok berpeluang lolos. Menurut dia, kebanyakan keterangan saksi cenderung menilai tak ada penistaan agama, pun pidana. Satu orang lainnya, ahli hukum, mengaku berada di antara yang meyakini pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu tak memenuhi unsur pidana yang diatur dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana soal penistaan agama.
Sebagian massa telanjur marah dan menggelar unjuk rasa pada 4 November lalu. Mereka bahkan berencana kembali menggelar demo yang lebih besar pada 25 November bila polisi dianggap tak serius mengusut kasus Basuki atau Ahok. Sulit menyangkal bahwa bayang-bayang ancaman demonstrasi ikut melahirkan status tersangka atas Ahok.
Gonjang-ganjing aksi 4 November menyadarkan bahwa kita belum berhasil mengkonsolidasikan demokrasi. Polisi masih takut bertindak profesional lantaran ada tekanan sekelompok massa. Walaupun jelas-jelas merupakan sebuah blunder yang melampaui batas, pernyataan Basuki itu belum bisa disebut penistaan agama.
Hal yang lebih mencemaskan, kejadian ini juga bisa menjadi preseden. Seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka seperti Ahok lantaran ada tekanan kelompok massa, siapa pun mereka. Itulah yang tak boleh terjadi.
Aparat penegak hukum semestinya tetap obyektif. Meski Kapolri menjanjikan adanya peradilan terbuka seperti pada kasus pembunuhan dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, mereka harus memberikan garansi bahwa proses itu bebas dari intervensi. Saat peradilan dilakukan secara terbuka, bisakah majelis hakim berani tidak mengambil keputusan secara pragmatis?
Proses pengusutan kasus Ahok ini akan menjadi ujian kedewasaan kita dalam berdemokrasi dan kerelaan menghormati hukum. Penegak hukum semestinya tak takut menjalankan profesionalismenya. Kelompok yang menuntut Ahok pun seharusnya legawa bila kelak hukum memutuskan hal yang berbeda dengan yang mereka inginkan. (*)