KEPUTUSAN Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam gugatan perdata terhadap PT Merbau Pelalawan Lestari layak disambut gembira. Namun, agar tak menjadi macan ompong, putusan itu mesti segera dieksekusi Kementerian.
Menunda eksekusi hanya akan meruntuhkan wibawa pemerintah, dan efek jera yang diharapkan muncul pada korporasi perusak lingkungan menjadi harapan kosong. PT Merbau divonis membayar denda Rp 16,2 triliun kepada pemerintah karena telah menebang pohon di luar lokasi yang diizinkan. Mereka hanya mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman seluas 5.590 hektare. Tapi perusahaan ketahuan melakukan penebangan di area seluas 7.466 hektare. Akibatnya, pemerintah menaksir kerugian yang muncul sebesar Rp 16 triliun.
Tidak mudah perjuangan pemerintah untuk sampai ke hasil yang memuaskan tersebut. Kementerian sudah mengajukan gugatan sejak September 2013. Hasilnya, mereka dua kali dikalahkan, di Pengadilan Negeri Pekanbaru dan di Pengadilan Tinggi Riau. Di tingkat kasasi, barulah Mahkamah Agung menganulir putusan dua pengadilan di bawahnya. Pujian layak disematkan kepada hakim-hakim MA. Dan denda Rp 16 triliun ini adalah yang terbesar dalam perkara gugatan di ranah lingkungan.
Dalam perkara perdata, pelaksanaan putusan ada di tangan pihak yang dikalahkan. Bila hal itu tak segera dilakukan, pihak pemenang dapat meminta bantuan pengadilan untuk menjalankan eksekusi. Jadi, kini bola ada di tangan Kementerian untuk menekan korporasi segera memenuhi kewajibannya.
Sudah ada preseden bahwa putusan Mahkamah Agung yang memenangkan KLHK tak segera dieksekusi sehingga berlarut-larut. Pada September tahun lalu, MA menetapkan PT Kalista Alam kalah dan harus membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar Rp 366 miliar. Perusahaan kelapa sawit itu terbukti membakar lahan di Rawa Tripa seluas 1.000 hektare. Tapi, hingga Oktober lalu, eksekusi belum terlaksana. Kementerian pun baru akan mengurusnya dengan mengirim surat ke Pengadilan Negeri Meulaboh. Sungguh sangat terlambat.
Kelambanan semacam ini tak boleh diulangi. Ketegasan melakukan eksekusi akan menimbulkan efek jera bagi korporasi perusak lingkungan. Sudah dimaklumi, kasus perusakan lingkungan demikian masif di negeri ini. Di Provinsi Riau, misalnya, dari 9 juta hektare hutan alam yang pernah ada, kini hanya tersisa sekitar 3 juta hektare. Kerusakan itu diakibatkan operasi perusahaan kayu selama bertahun-tahun. Hal semacam ini juga banyak terjadi di daerah lain, misalnya di Kalimantan dan Sulawesi. Ini harus dihentikan. Caranya, antara lain, dengan penegakan hukum, sehingga menimbulkan efek jera.
Ada baiknya juga kisah sukses kemenangan ini dijadikan acuan dalam menangani kasus sejenis yang sedang atau akan banding. Jumlahnya memang tak sedikit. Jadi, jika pemerintah memiliki cetak biru penanganannya, itu akan memudahkan dalam menempuh proses perdata yang biasanya lama dan melelahkan.