POLISI akhirnya menetapkan NS, pemimpin aksi yang mengganggu kampanye kandidat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, sebagai tersangka atas laporan Badan Pengawas Pemilu Jakarta. Keputusan Kepolisian Daerah Metro Jaya ini sangat tepat.
Masyarakat perlu mengerti bahwa kampanye penting bukan hanya bagi kandidat, melainkan juga buat pemilih. Melalui kampanyelah warga mendapatkan informasi mengenai para kandidat yang akan bertarung. Dengan demikian, menghalangi kampanye sama saja dengan merampas hak pemilih mendapatkan bahan untuk menilai dan menimbang pilihan mereka.
Tindakan menghalangi kampanye juga tergolong sebagai perlawanan terhadap negara. Hal ini tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Pasal 187 ayat 4 undang-undang tersebut menyiratkan setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye adalah pelaku pidana.
Meski ancaman hukumannya ringan penjara hingga 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp 600 ribu pasal ini menegaskan soal perlindungan negara terhadap hak calon ataupun masyarakat pemilih atas kampanye. Salah kalau menganggap gangguan kampanye semata merupakan urusan kelompok demonstran dengan para kandidat yang tidak mereka sukai.
Dalam konteks kampanye pilkada DKI Jakarta, sebenarnya bukan cuma Djarot yang dihalang-halangi. Pasangan Djarot, kandidat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, malah dikejar-kejar sekelompok orang ketika berkampanye di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ahok terpaksa meninggalkan lokasi menggunakan angkutan kota. Seharusnya, para pengganggu kampanye di Kebon Jeruk itu juga ditangkap.
Memang tidak mudah memproses hukum setiap pengacau kampanye. Badan Pengawas Pemilu cuma punya waktu lima hari buat mempersiapkan laporan ke polisi. Dan polisi hanya diberi waktu 14 hari untuk melengkapi berkas perkara, sebelum diajukan kepada jaksa.
Tapi, seperti dalam aksi-aksi lain, seharusnya polisi bisa mengidentifikasi para pelaku kerusuhan. Apalagi aparat dan petugas Panitia Pengawas Pemilu biasanya hadir dalam kampanye resmi peserta pilkada. Lebih baik lagi kalau masyarakat yang merasa dirugikan oleh pengacau kampanye itu melapor ke Panitia dengan membawa bukti berupa foto atau video.
Tentu saja, yang paling ideal adalah memastikan tak ada lagi kampanye yang dihalang-halangi. Dan seyogianya ini bukan tanggung jawab aparat keamanan dan lembaga penyelenggara pemilu semata, melainkan juga tanggung jawab partai politik dan masyarakat. Ingat, kita memilih pemimpin hanya sekali untuk lima tahun. Jangan biarkan pengacau mengganggu hak kita untuk mempertimbangkan pilihan secara baik.