Seruan berunjuk rasa pada 25 November dan 2 Desember mendatang telah melenceng dari semangat demokrasi. Demonstrasi tak lagi relevan karena proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama tengah berjalan dan Gubernur DKI Jakarta itu sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan penodaan agama. Karena itu, semestinya unjuk rasa tersebut tak perlu lagi.
Jika benar yang dikatakan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian bahwa demonstrasi itu ditunggangi kelompok yang ingin melakukan makar, jelas unjuk rasa itu kini tak lagi murni soal Ahok. Kapolri menyebutkan sejumlah indikasi untuk itu: pertemuan sejumlah tokoh untuk menggerakkan massa pada hari-H, skenario menguasai gedung MPR/DPR, serta membuat kerusuhan. Namun, ketimbang membuat publik bertanya-tanya, sebaiknya Jenderal Tito menunjuk dan menangkap pelakunya.
Di media sosial, seruan demonstrasi itu disertai ajakan untuk menarik uang minimal Rp 2 juta per orang secara besar-besaran pada 25 November. Polisi harus menindak para penghasut itu. Untuk menangkap pelakunya, polisi bisa menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat 1 undang-undang itu mengatur perihal mereka yang menyebarkan kabar seperti itu.
Unjuk rasa merupakan ekspresi demokrasi jika dilakukan secara proporsional. Tapi, jika diarahkan untuk membuat negara tak stabil, menciptakan rasa tidak aman, atau mengobarkan sektarianisme, hal itu bukan lagi ajang menyalurkan pendapat. Tindakan tersebut justru menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri.
Demokrasi punya aturan main yang harus ditaati seluruh warga negara, termasuk dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Selain dilarang mengganggu ketertiban umum, penyampaian pendapat tak boleh mengandung ujaran kebencian dan menghasut massa berbuat destruktif. Karena itu, polisi tak boleh berkompromi dengan kelompok-kelompok intoleran, yang juga punya agenda kekuasaan.
Polisi tak boleh mengulangi kesalahan dalam penetapan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama sebagai tersangka penistaan agama. Polisi ngebut mengusut kasus ini setelah terjadi unjuk rasa pada 4 November lalu. Penetapan Ahok sebagai tersangka, kita tahu, dilakukan tanpa suara bulat.
Hukum seperti takluk pada aksi jalanan. Kasus Ahok tidak bisa disebut sebagai penodaan agama karena pernyataannya yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51 dalam pidato di Kepulauan Seribu pada September lalu tidak dimaksudkan untuk itu. Sulit dimungkiri tindakan polisi menjadikan Ahok sebagai tersangka semata demi meredam kemarahan massa.
Hukum, dalam kasus Ahok ini, telah menjadi bagian dari tawar-menawar politik. Kondisi ini akan menjadi preseden berbahaya karena keputusan hukum bisa ditentukan oleh banyaknya orang yang turun ke jalan bukan oleh fakta-fakta obyektif. Padahal jumlah massa di jalan bisa dihimpun karena adanya uang atau kabar hoax.