Penangkapan Handang Soekarno oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin lalu harus menjadi momentum bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk bersih-bersih diri. Kepala Sub-Direktorat Bukti Permulaan Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak ini diduga menerima suap dari Direktur PT Eka Prima, Rajesh Rajamohan Nair, untuk pengurusan masalah perpajakan. Dari tangan Handang, disita uang US$ 148.500 atau Rp 1,9 miliar.
Kasus Handang menggaungkan omongan Gayus Tambunan, pegawai pajak yang terlibat kasus mafia pajak dan hukum pada 2011, bahwa korupsi di Direktorat Pajak sudah biasa. Bahkan Gayus menyebutkan ada banyak pegawai pajak, termasuk pejabat di atasnya, yang juga melakukan korupsi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani buru-buru membentuk tim reformasi pajak untuk membenahi kinerja direktorat tersebut. Namun pembentukan tim ini tak boleh hanya gebrakan sesaat. Pemerintah tak perlu ragu mengambil langkah besar dalam mereformasi lembaga perpajakan itu sehingga benar-benar bersih dari tikus-tikus pengemplang pendapatan negara.
Pemerintah dapat belajar dari negara lain, seperti Uganda dan Tanzania, dalam membenahi lembaga perpajakannya. Kedua negara itu merombak struktur lembaga perpajakan dengan mengeluarkannya dari kementerian keuangan dan menjadikannya lembaga semiotonom. Selama dua dekade ini lebih dari 20 negara berkembang, khususnya di Amerika Latin dan Afrika, telah mengambil langkah tersebut.
Pada 1991 pemerintah Uganda memisahkan direktorat pajaknya dari kementerian keuangan dan membentuk Otoritas Pendapatan Uganda (URA), lembaga perpajakan semiotonom yang diawasi dewan direksi independen. Pegawai pajak lama kemudian dipindahkan ke URA melalui seleksi ketat. Dari 1.700-an pegawai itu, sekitar 200 petugas pajak dan 40 pejabat dipecat karena tak lolos uji.
Pemerintah juga mewajibkan semua pegawai melaporkan harta dan kekayaan diri serta keluarganya. Tujuh tahun kemudian, angka korupsi turun dan pendapatan negara naik. Meskipun URA menghadapi sejumlah masalah karena intervensi politik dan lainnya, lembaga ini telah menjadi model reformasi lembaga perpajakan di Afrika.
Indonesia tak perlu meniru mentah-mentah, tapi dapat mengadopsi sejumlah langkah positif dalam membenahi Direktorat Pajak. Berbagai studi, termasuk yang dipaparkan Susan Rose-Ackerman dalam International Handbook on the Economics of Corruption (2006), menunjukkan bahwa korupsi di lembaga perpajakan dilakukan oleh jaringan atau mafia. Mereka mempelajari sistem dan memanfaatkan celah-celah untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Gaji besar dan bonus ternyata tak menahan niat mereka untuk tetap korup. Tapi pengawasan ketat dan penghargaan bagi pegawai yang jujur diperlukan untuk menekan orang-orang tamak ini.
Sekaranglah saatnya pemerintah membersihkan Direktorat Pajak. Tak ada obat cespleng bagi korupsi, tapi perbaikan terus-menerus harus dilakukan.