ETIKA politik Partai Golkar sungguh patut dipertanyakan. Atas nama keputusan rapat pleno Dewan Pengurus Pusat, sekonyong-konyong partai tersebut memanggil kadernya, Ade Komarudin, yang menduduki kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Ade diperintahkan menyerahkan kursinya kepada Setya Novanto, orang nomor satu di partai beringin itu.
Seperti menjilat ludah sendiri, Setya-lah yang menyatakan mundur dari jabatan Ketua DPR gara-gara kasus "papa minta saham". Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ketika itu, Sudirman Said, melaporkan Setya ke Majelis Kehormatan Dewan karena diduga mencatut nama presiden dan wakil presiden dalam kaitan dengan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Sebanyak 13 anggota Majelis sepakat memutuskan Setya melanggar kode etik, meski masing-masing memberikan takaran berbeda: pelanggaran sedang sampai berat. Putusan Majelis keluar pada hari yang sama dengan pengunduran diri Setya.
Tak terima dengan putusan itu, Setya mengajukan peninjauan kembali kepada Majelis Kehormatan, disertai manuver uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Di Mahkamah, Setya mempersoalkan keabsahan barang bukti rekaman percakapan dari Sudirman yang diduga berisi suaranya dengan seorang petinggi Freeport. Uji materi dikabulkan. Mahkamah menyatakan bukti rekaman tidak bisa digunakan dalam persidangan jika tidak dilakukan penegak hukum.
Berpegang pada putusan MK, majelis peninjauan kembali mementahkan laporan Sudirman, bahkan memulihkan nama baik Setya. Padahal, dalam sidang Jessica, misalnya, hakim mengizinkan jaksa menggunakan barang bukti rekaman CCTV di kafe untuk menunjukkan posisi Jessica saat Mirna diracun. Anggaplah Setya "bersih". Namun, dari sisi moralitas, apakah tak punya malu jika orang yang sudah mengundurkan diri kembali menduduki jabatan yang dilepaskannya?
Dari sisi kinerja, selama 15 bulan menjabat Ketua DPR, Setya mengeluarkan sejumlah kebijakan kontroversial. Di antaranya mengusulkan kembali proyek pembangunan gedung baru DPR, yang sempat ditolak di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; meminta paspor diplomatik untuk semua anggota Dewan; dan mengusulkan dana aspirasi untuk anggota Dewan senilai Rp 11,2 triliun. Setya juga pernah dijatuhi sanksi ringan berupa teguran karena menghadiri kampanye calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bersama Fadli Zon.
Jika Setya sampai balik menduduki posisi Ketua DPR dan fraksi bergeming, bagaimana citra lembaga wakil rakyat ini nantinya? Sikap itu sama saja dengan mempertaruhkan nama baik semua anggota Dewan yang mungkin bagi sebagian orang sudah babak-belur juga. Sekarang, setidaknya masih ada satu-dua anggota Dewan yang lantang menolak. Atau mungkin perlu gerakan masif dari para wakil rakyat sebagaimana dulu mereka mendesak Setya mundur.