Dorongan beberapa pihak untuk mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi seperti masa sebelum Reformasi 1998 harus ditolak. Niat itu sama artinya dengan memutar mundur jarum sejarah. Reformasi politik, hukum, serta ekonomi yang telah bergulir dengan banyak tenaga dan korban bakal sia-sia. Satu di antara enam tuntutan Reformasi 1998 adalah amendemen konstitusi dengan tujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Maka, keinginan kembali ke UUD versi Orde Baru merupakan kemunduran besar.
Wacana kembali ke UUD 1945, yang mereka sebut sebagai "UUD 1945 yang murni", sudah beberapa kali muncul, lalu kembali diangkat Partai Golkar. Sekretaris Fraksi Golkar, Aziz Syamsuddin, Rabu pekan lalu, mengatakan partainya sedang mengkaji perubahan substansi dan sistem dasar negara yang sudah diamendemen sebanyak empat kali tersebut. Golkar ingin mengembalikan UUD menjadi seperti pada 1998.
Salah satu pasal yang hendak dikembalikan adalah MPR menjadi kekuasaan tertinggi dan bisa membuat undang-undang. Fungsi dan wewenang DPR memberikan persetujuan RUU, peraturan pemerintah, serta APBN. Ini akan mengubah lagi UUD hasil amendemen, yang menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dengan pemilihan langsung atau referendum.
Sejak 1999, MPR telah mengubah konstitusi negara (UUD 1945) atas tuntutan reformasi. Banyak pasal dalam UUD 1945 yang sudah diamendemen. Misalnya, presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR. Reformasi juga menghapus dwifungsi ABRI, sehingga angkatan bersenjata RI menjadi lebih profesional. Begitu pula dengan pemisahan Kepolisian RI dari ABRI dengan pembagian tugas dan fungsi masing-masing; kepolisian menjaga tertib hukum sipil dan TNI mengawal kedaulatan negara.
Hal mendasar lain dari reformasi UUD 1945 adalah penguatan otonomi daerah agar perekonomian tidak terpusat di Jakarta. Demokratisasi ekonomi juga dibuka, sehingga roda pembangunan lebih berjalan maju. Demikian pula reformasi kebebasan pers dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Jika dikembalikan lagi ke versi lama, presiden tidak dipilih langsung, melainkan oleh sidang MPR. Begitu juga pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, yang ditentukan melalui DPRD. Lalu, masa jabatan presiden tidak lagi dibatasi dua periode, sehingga gampang dibelokkan guna melanggengkan kekuasaan. Dewan Pertimbangan Agung dibentuk kembali dan dwifungsi ABRI/TNI pun hidup lagi.
Semua usul itu harus ditolak karena nyata-nyata mengingkari hasil reformasi. Reformasi yang telah kita jalankan, dan berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Baru, memang belum sepenuhnya membuahkan hasil. Tapi kemajuan besar telah kita capai. Pemerintah tidak lagi memiliki kekuasaan nyaris absolut seperti pada masa Orde Baru. Kebebasan sipil dan media juga maju pesat.
Semua itu dicapai dengan susah payah, bahkan dengan pengorbanan ribuan nyawa. Maka, konyol jika sekarang para elite kembali menginginkan kejayaan masa lalunya yang semu.