Toriq Hadad
@thhadad
Tiba-tiba saya bangun pagi di sini, di rumah tak luas ini, penuh tanaman dan terasa rungseb. Ini Jalan Menganti di Surabaya, sedangkan rumah saya di Pamulang, Tangerang Selatan, terpisah lebih dari seribu kilometer.
Kaget dan cemas membuat saya hanya melongo ketika seorang perempuan--yang ternyata ajudan--menyapa, "Selamat pagi, Ibu. Sudah lebih tenang hari ini?" Ibu? Saya ini lelaki tulen. Perempuan itu melanjutkan, "Ibu sebaiknya cepat bersiap-siap. Di ruang tamu, rombongan ibu-ibu pengajian menunggu. Mereka pendukung setia Ibu. Mereka tak mau Wali Kota Surabaya mengundurkan diri."
Ingatan saya sontak nyambung. Ya Tuhan, rupanya kau jadikan saya Tri Rismaharini, wali kota kelahiran saya yang sedang galau itu. Mengapa tak Kau jadikan hamba Wali Kota Tangerang Selatan? Selain kantornya dekat rumah, mobil mewahnya banyak.
"Sudah siap, Bu?" tanya ajudan. Lamunan saya buyar. Siap atau tak siap, tak ada pilihan: saya Tri Rismaharini, wali kota yang menang pilkada dengan angka meyakinkan. Saya yang menyulap Surabaya menjadi hijau, menyekolahkan begitu banyak anak miskin, memberi harapan lagi kepada pelacur dan kaum pinggiran. Saya yang menghidupkan taman-taman gelap menjadi tempat rehat rakyat jelata, sebelum mereka kembali ke rumahnya yang sesak dan apak.
"Ya, saya siap," ujar saya. Ibu-ibu pengajian ramai-ramai memeluk saya. "Ibu jangan mundur, Ibu tak boleh mundur." Mereka bertangisan. Sebagai "Risma", saya punya sikap berbeda dengan Tri Rismaharini. "Ibu-ibu tercinta, saya dipilih oleh ibu sekalian, rakyat Surabaya. Jadi, saya tak akan mundur. Kecuali, rakyat Surabaya memecat saya." Itu pidato pertama "Risma". Tangis lirih ibu-ibu itu pecah menjadi raungan, kali ini akibat gembira yang meluap-luap.
Satu soal beres. Berikutnya, soal wakil wali kota yang tak dikehendaki Tri Rismaharini. Maklum, si Wakil pernah berupaya melengserkan Risma. Penunjukannya oleh partai tak diketahui Risma. Malah, Wakil ini ngotot menyokong jalan tol di tengah kota, yang dianggap Risma bakal membebani rakyat.
"Risma" pun memberi perintah pertama. "Panggil Wakil Wali Kota ke kantor pagi ini. Saya mau bicara." Pertemuan yang ditunggu-tunggu wartawan itu pun terjadi.
"Pertama, saya ucapkan selamat atas pelantikan sampeyan, Mas Wawali. Maaf saya flu berat, jadi tak datang waktu sampeyan dilantik," begitu "Risma" membuka percakapan. "Tentu sampeyan sudah membaca undang-undang pemerintahan daerah. Di sana jelas, tugas sampeyan membantu saya. Silakan memantau pemerintah, tapi setelah itu berikan saran kepada saya. Sampeyan bertanggung jawab kepada saya, bukan kepada partai. Jelas, ya, Mas. Kalau saya tak ada di kota, sampeyan jadi serep saya," Si Wakil tak banyak berkata-kata. Sebentar berbasa-basi, si Wakil pamit.
Menjelang pintu keluar, "Risma" berpesan. "Mas, urusan tol tengah kota biar saya tangani. Sampeyan bantu saya mengurus kompleks Dolly, mengurus banjir dan sampah. Setiap pagi kita bangun sebelum subuh, jangan lupa pakai sepatu bot karet. Kita periksa sungai, taman, dan jalan-jalan Surabaya."
"Risma" punya pekerjaan berikut: meyakinkan partai penyokongnya bahwa bekerja demi rakyat kecil merupakan dukungan paling nyata kepada partai yang konon berpihak kepada wong cilik itu. Pengabdiannya kepada yang tak beruntung mestinya mengatasi kejengkelan kepada partai, wakil wali kota, sistem politik yang sakit.
Terus terang, saya tak betah berlama-lama menjadi "Risma". Tuhan maha pengabul doa. Anak saya menggoyang-goyangkan kaki saya. Istri saya tampak cemberut. "Semalam Bapak mengigau terus. Siapa sih Risma? Namanya Bapak panggil terus," katanya. Waduh.