Putu Setia
@mpujayaprema
Esok hari, kehidupan seperti berhenti di Bali. Tak ada mobil bergerak di jalanan. Baliho partai yang memenuhi tikungan jalan, bebas dari cemoohan, karena tak ada orang berlalu-lalang. Pelabuhan dan bandar udara ditutup. Ini bukan lantaran kabut asap, Bali tak punya hutan, apa yang dibakar. Umat Hindu merayakan pergantian Tahun Saka dan Bali masih boleh menutup diri.
Nyepi tentu hakekatnya adalah sepi. Dalam kesepian dan kesunyian kita belajar untuk mendengar dan sesekali berhenti berbicara. Ayo dengarkan apa kata orang, jangan cuma meminta orang untuk mendengar suara kita. Tapi, karena orang lain juga melakukan hal yang sama, lalu apa yang didengar? Televisi dan radio tak boleh siaran-kecuali lewat parabola atau Internet. Ya, dengarkan suara hati. Cobalah kita bertanya pada hati dan dengarkan apa jawabnya.
Mari bertanya: "Wahai hati kecilku yang jernih suci, sesungguhnya apakah aku layak mencalonkan diri sebagai presiden?" Dan hati mungkin menjawab: "Kamu sama sekali tak layak nyapres. Pemilu yang lalu sudah jadi calon, kalah pula. Usia sudah tua, cara kamu berkampanye saja sudah tidak kreatif, meniru-niru jadi tukang becak atau pedagang asongan, bukan menjadi diri sendiri. Sudahlah, beri kesempatan calon lebih muda."
Atau barangkali hati menjawab begini: "Kamu mau jadi presiden? Lumuran darahmu di masa lalu masih berbekas, bukan di tubuhmu, tetapi di tubuh rakyat. Betul orang bisa tobat, betul juga kesalahan di masa lalu bisa tak diulang di masa depan, betul sekali setiap saat orang bisa berbuat baik untuk menebus kesalahannya. Tetapi itu tak pernah kamu buktikan dengan langkah nyata, tiba-tiba saja mau berubah secara mendadak. Tidak, kamu tak layak nyapres. Kalau mau berbuat baik untuk negeri ini, masih ada pekerjaan lain, bukan sebagai presiden."
Mungkin hati menjawab lebih halus: "Ya, sudahlah, lupakan niatmu menjadi presiden. Padi yang mestinya menguning sudah lama dilanda lumpur dan tak ada rasa menyesal yang kamu tunjukkan, baik pada alam maupun pada sesama manusia. Semesta telah memberi kode dan kamu tak pernah membacanya, karena matamu ditutup oleh kekayaan semu. Berikan kesempatan pada sahabatmu untuk nyapres, kamu peluk-peluk boneka lebih humanis."
Dalam keadaan hening, hati pasti berbicara lebih jujur. Misalnya seperti ini: "Di antara calon yang lain, kamu memang ditunggu-tunggu untuk menjadi presiden. Tapi kamu harus introspeksi diri, apa betul punya misi dan visi untuk negeri yang begitu luas? Rakyat sudah berkali-kali kecewa, menggebu-gebu dengan euforia tinggi memilih presiden, ternyata belakangan mendapatkan presiden yang tak banyak berbuat. Aku khawatir kamu hanya mengulang sejarah. Coba kamu telisik dirimu, memangnya kamu tahu masalah yang lebih makro, kamu punya kontak-kontak di mancanegara, kamu punya perhatian yang lebih dari sekadar melihat got mampet dan blusukan ke mana-mana? Presiden harus kerja keras, tapi tak bisa setiap hari hanya bersalaman dengan rakyat dan itu pun dengan liputan seabrek jurnalis. Presiden harus banyak berpikir, mencari solusi, lalu memerintahkan pembantunya untuk mengerjakan. Yang penting lagi, ayomi seluruh rakyat, bukan mementingkan partai. Mandat itu dari rakyat, bukan dari partai."
Contoh bagaimana hati menjawab bisa diperpanjang. Yang pasti jawaban lebih jujur akan diperoleh karena kita dalam keadaan hening untuk bertanya, dan jawabannya hanya kita yang tahu. Terserah kemudian kita mengikuti kata hati atau tidak. Selamat Nyepi dan melakukan perenungan.