Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Siasat Kenaikan Subsidi Partai

image-profil

image-gnews
Iklan

Donal Fariz
Koordinator Divisi Korupsi Politika ICW

Lagi, Kementerian Dalam Negeri melempar wacana kenaikan bantuan keuangan untuk partai politik. Akankah gagasan ini menjadi langkah yang tepat untuk pembenahan partai?

Setahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah mengusulkan hal yang sama, yakni menaikkan bantuan keuangan partai sebesar Rp 1 triliun untuk semua partai yang memiliki kursi di DPR. Belum sempat direalisasi, usul tersebut kandas akibat penolakan masyarakat.

Kini, usul serupa kembali diangkat. Hanya, jumlah kenaikan yang semula diusulkan sebesar Rp 1 triliun berubah menjadi 50 kali lipat dari anggaran yang diterima partai politik saat ini. Jika satu suara dihargai Rp 108, pemerintah harus siap-siap menggelontorkan dana negara sebesar Rp 658 miliar untuk seluruh partai setiap tahun.

Sulit dielakkan, wacana kenaikan anggaran untuk partai maupun besarannya selalu memicu perdebatan. Selalu ada pihak yang setuju dan kontra.

Sebagian besar masyarakat belum yakin peningkatan bantuan keuangan akan menekan laju korupsi di tubuh partai. Penilaian tersebut tentu tidak sepenuhnya keliru. Namun pandangan ini bisa saja berubah saat kita memahami anatomi kasus-kasus korupsi yang terjadi.

Secara sederhana, bisa dikelompokkan dua faktor pemicu korupsi, yakni kebutuhan (by need) dan ketamakan (by greed). Peningkatan bantuan keuangan negara bagi partai merupakan jawaban atas persoalan korupsi karena biaya politik yang tinggi (high cost politics) di Indonesia. Pada titik ini, korupsi terjadi karena kebutuhan biaya yang besar untuk menjalankan partai di tengah syarat pendirian partai yang mahaberat.

Rata-rata kebutuhan operasional satu partai politik setiap tahun berada dalam rentang Rp 150-250 miliar (ICW 2014). Akhirnya, sebagian anggota partai mengeruk anggaran negara melalui korupsi untuk dialirkan ke partai mereka. Selain korupsi anggaran, partai menggelar panen musiman saat pemilihan kepala daerah dengan cara menarik mahar dalam pencalonan (candidacy buying).

Hal ini disebabkan oleh adanya jurang yang besar antara kebutuhan dan kemampuan pendanaan partai secara mandiri. Maka, kehadiran negara sangatlah dibutuhkan. Kehadiran negara juga dibutuhkan untuk melawan arus para pengusaha yang seolah-olah menjadikan partai perusahaan mereka (corporate party). Fenomena ini terjadi lantaran partai didanai secara tunggal oleh elite organisasi tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Praktek pendanaan partai politik oleh pemerintah diadopsi berbagai negara di dunia. Jerman, Turki, dan Jepang di antaranya. Jadi, peningkatan bantuan keuangan untuk partai adalah kebutuhan yang tidak terelakkan.

Jika kenaikan anggaran partai adalah sebuah keniscayaan, mengapa wacana kenaikan bantuan keuangan partai yang digagas pemerintah selalu kandas? Penyebabnya tidak lepas dari usulan pemerintah yang sangat minimalis. Pemerintah hanya berputar-putar berbicara tentang besaran anggaran untuk partai, nyaris tanpa konsep untuk memperbaiki tata kelola partai secara keseluruhan.

Kesimpulan ini bisa dilacak dari upaya pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Pilihan ini dapat dianggap sebagai jalan pintas untuk menaikkan anggaran partai semata. Sebab, muatan peraturan tersebut lebih terfokus pada aspek teknis besaran anggaran, distribusi penggunaan, dan pertanggungjawaban.

Peraturan itu tidak bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki tata kelola keuangan partai. Sebab, ada dua sumber lain, yakni iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum, yang juga menjadi sumber pendanaan partai dan tidak diatur dalam peraturan tersebut. Padahal dua sumber keuangan yang terakhir ini selalu menjadi ruang gelap keuangan partai yang hanya diketahui segelintir elite partai.

Sumber keuangan tersebut berdampak dalam audit. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya mengaudit keuangan yang bersumber dari APBN. Selebihnya, partai melakukan audit melalui kantor akuntan publik yang ditunjuk oleh mereka sendiri. Tidak ada acuan, bahkan pengaturan, dalam penunjukan akuntan publik tersebut. Akibatnya, tidak hanya rawan manipulasi, laporan keuangan partai yang terkonsolidasi pun akhirnya tidak pernah bisa tersaji.

Beberapa hal di atas hanyalah sekelumit persoalan besar mengenai buruknya tata kelola partai saat ini. Karena itu, jika pemerintah ingin memperbaiki partai secara keseluruhan, revisi Undang-Undang Partai Politik merupakan pilihan yang paling realistis untuk diambil.

Dalam kajian ICW (2016), setidaknya ada tujuh aspek yang membutuhkan perbaikan peraturan. Yakni sumber keuangan, peruntukan keuangan, pelaporan, audit, keterbukaan informasi, sanksi, dan pengawasan. Karena itu, Presiden Jokowi semestinya memprioritaskan pembenahan partai dalam agenda reformasi hukum yang tengah digagas. Ini merupakan tanggung jawab Presiden sebagai kepala negara.

Tentu gagasan pembenahan tersebut harus bulat dan utuh untuk bisa memperbaiki tata kelola partai secara keseluruhan. Bukan siasat melalui perubahan peraturan pemerintah untuk menaikkan anggaran.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


KPK Ajak Anak Muda Berpartisipasi pada Festival Lagu Antikorupsi

11 Agustus 2017

Aksi panggung Slank dalam konser Jurus Tandur menolak hak angket KPK di depan gedung KPK, Jakarta, 13 Juli 2017. TEMPO/Yovita Amalia
KPK Ajak Anak Muda Berpartisipasi pada Festival Lagu Antikorupsi

Festival ini merupakan salah satu upaya KPK dalam pencegahan korupsi di kalangan anak muda.


KPK Gelar Festival Lagu Anti Korupsi dengan Juri Sandy Canester

7 Agustus 2017

Ekspresi Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang memainkan saxophone di acara Konser Suara Anti Korupsi di Pasar Festival, Jakarta, 18 November 2016. Konser tersebut merupakan acara puncak penganugerahan kompetisi Suara Antikorupsi. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
KPK Gelar Festival Lagu Anti Korupsi dengan Juri Sandy Canester

KPK menyelenggarakan Festival Lagu Suara Anti Korupsi dengan juri Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Sandy Canester.


KPK Bekali Kiat Menolak Korupsi kepada 38 Finalis Putri Indonesia  

27 Maret 2017

Finalis Puteri Indonesia 2017 usai melakukan kunjungan di gedung KPK, Jakarta, 27 Maret 2017. Kedatangan 38 finalis dari seluruh provinsi di Indonesia tersebut untuk mendapatkan pembekalan mengenai pemberantasan korupsi dalam masa karantina. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
KPK Bekali Kiat Menolak Korupsi kepada 38 Finalis Putri Indonesia  

Sebanyak 38 wanita rupawan mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Mereka merupakan finalis ajang Putri Indonesia 2017.


Hanya Naik 1 Poin, Istana Berharap CPI Tahun Ini Lebih Baik

25 Januari 2017

Teten Masduki saat dilantik menjadi Kepala Staf Presiden di Istana Negara, Jakarta, 2 September 2015. Teten Masduki menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. TEMPO/Subekti
Hanya Naik 1 Poin, Istana Berharap CPI Tahun Ini Lebih Baik

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki berharap skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang diraih Indonesia pada tahun ini lebih baik lagi.


TI: Paket Kebijakan Perbaiki Indeks Korupsi Indonesia  

25 Januari 2017

Ilustrasi Pungutan liar (Pungli)/Korupsi/Suap. Shutterstock
TI: Paket Kebijakan Perbaiki Indeks Korupsi Indonesia  

Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, skor CPI Indonesia naik lima poin.


Korupsi (Atas Nama) Partai

24 Oktober 2016

Korupsi (Atas Nama) Partai

Rasanya tidak ada partai politik di Indonesia yang secara resmi memerintahkan kadernya untuk melakukan tindak pidana korupsi yang kemudian harus disetor ke partainya. Yang ada, partai tutup mata atas sumbangan kadernya, seberapa pun besarnya. Partai pada umumnya juga tidak pernah mempertanyakan asal-usul kontribusi dari kadernya. Konon, partai tidak boleh berburuk sangka terhadap kadernya sendiri, kendati jumlah dana yang disetor tidak masuk akal. Biasanya, kader yang banyak memberi dana untuk partai akan mendapat "reward", misalnya akan mendapat prioritas kalau ada lowongan jabatan di kelengkapan DPR, masuk panitia khusus yang menarik, jabatan di internal partai, atau nomor bagus calon anggota legislatif dalam pemilihan umum.


Resep Denmark Jadi Negara Paling Bersih dari Korupsi  

16 Maret 2016

TEMPO/Hariandi Hafid
Resep Denmark Jadi Negara Paling Bersih dari Korupsi  

Apa resep Denmark menjadi negara paling bersih dari korupsi?


Survei BPS: Perilaku Antikorupsi Masyarakat Menurun  

22 Februari 2016

Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik. TEMPO/Rezki Alvionitasari.
Survei BPS: Perilaku Antikorupsi Masyarakat Menurun  

Hasil survei BPS menunjukkan pengalaman antikorupsi

masyarakat lebih rendah dibanding persepsinya.


Kabar Baik, Peringkat Korupsi Indonesia Membaik!  

27 Januari 2016

TEMPO/Hariandi Hafid
Kabar Baik, Peringkat Korupsi Indonesia Membaik!  

Kenaikan peringkat salah satunya berkat kinerja KPK dalam memberantas korupsi.


Hari Ini Sekolah Antikorupsi Integritas Resmi Dimulai  

4 Januari 2016

Ilustrasi korupsi
Hari Ini Sekolah Antikorupsi Integritas Resmi Dimulai  

Sekolah Integritas bertujuan memberikan pendidikan antikorupsi kepada publik, khususnya generasi muda.