Mengubah tapi tak berubah. Inilah hasil revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berlaku mulai 28 November. Revisi yang dilakukan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat ini sama sekali tidak menghilangkan substansi masalah atas undang-undang itu. Pasal berisi ancaman pidana bagi pelaku pencemaran nama tetap bercokol.
Semestinya pemerintah dan DPR mencabut saja Pasal 27 ayat 3, yang biasa disebut pasal karet, dalam undang-undang itu. Dijuluki pasal karet karena multi-interpretatif, mudah disalahgunakan, serta bisa mengancam kebebasan berekspresi. Lagi pula, aturan mengenai pencemaran nama sudah diatur dengan jelas dan lengkap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Revisi pasal itu pun sebenarnya cuma memoles masa pidana dari 6 tahun menjadi 4 tahun dan/atau denda paling banyak semula Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Artinya, revisi ini tetap meneguhkan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Padahal para "korban" UU ITE bukan orang yang tepat dipersalahkan secara kriminal.
Sedikit melegakan dengan ancaman di bawah 5 tahun penjara. Polisi tak bisa langsung menahan seseorang yang terjerat. Selama ini banyak tersangka pencemaran nama ditahan sejak proses penyidikan. Sudah lebih dari seratus orang menjadi "korban" Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 itu.
Yang paling menyita perhatian adalah kasus Prita Mulyasari. Ia ditahan Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten, gara-gara mengirim e-mail keluhan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Akhirnya pada September 2012, Mahkamah Agung memutuskan Prita tak bersalah.
Dalam revisi UU ITE juga ada penambahan ketentuan mengenai hak untuk dilupakan (right to be forgotten). Aturan pada Pasal 26 ini menyebutkan penggunaan data pribadi secara elektronik. Tersangka atau terdakwa yang tak terbukti bersalah di pengadilan bisa meminta penghapusan semua informasi negatif tentang dirinya.
Pemenuhan hak itu merupakan perlindungan atas hak privasi warga negara. Asumsi dasarnya, setiap individu berhak menentukan informasi pribadi apa saja yang bisa diketahui orang lain dan apa yang tidak. Orang juga berhak untuk terlepas dari stigma buruk masa lalu, terutama bila stigma itu belakangan terbukti keliru.
Sayangnya, revisi UU ITE terlihat serba tanggung dan kurang terinci. Dua ayat tentang hak untuk dilupakan pada Pasal 26 sangat umum. Penyusun undang-undang terkesan masih menerapkan kebiasaan melimpahkan hal-hal penting ke aturan pelaksanaan, dalam hal ini pemerintah.
Karena itu, pemerintah harus segera menyusun aturan pelaksanaan yang jelas dan terinci. Agar tak melenceng dalam membuat aturan pelaksanaan, tak salah jika pemerintah mengadopsi praktek negara lain yang lebih dulu menerapkan hak untuk dilupakan. Tanpa aturan main yang mudah diterapkan, hak individu untuk dilupakan bisa bertabrakan dengan hak publik untuk tahu dan hak publik atas informasi.