DITILIK dari sudut mana pun, keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan membekukan sementara keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) tepat adanya. Dengan pembekuan itu, Indonesia tidak harus mengikuti keputusan sidang OPEC di Wina, Austria, pada Rabu lalu, yang meminta pemerintah memotong produksi minyak nasional sebanyak 37 ribu barel per hari.
Pemotongan ini merupakan bagian dari program OPEC memangkas produksi minyak dunia sebesar 1,2 juta barel per hari, mulai Januari mendatang. Sebagai negara yang menggantungkan penerimaannya pada produksi minyak dan gas, pengurangan produksi tentu akan berdampak negatif bagi kesehatan anggaran. Apalagi anggaran negara saat ini sedang cekak akibat lesunya penerimaan perpajakan. Diperkirakan, dari pemangkasan produksi itu, negara kehilangan penerimaan US$ 2 juta (Rp 18,9 miliar) per hari.
Penolakan pemerintah terhadap permintaan OPEC juga merupakan keputusan cerdik. Pengurangan produksi minyak bakal membuat harga minyak dunia menguat. Kemarin saja, begitu kesepakatan diketok, harga minyak dunia sudah melonjak 10 persen menjadi US$ 50 per barel. Dengan menyerahkan pemangkasan produksi kepada negara-negara utama OPEC, Indonesia bisa mencuri keuntungan dari kenaikan harga si emas hitam.
Dari sisi politik, sikap Indonesia kemungkinan besar bisa dimaklumi oleh anggota OPEC lainnya, mengingat volume produksi minyak Indonesia yang sangat kecil dibanding negara lain. Tahun ini pemerintah menetapkan target produksi minyak 820 ribu barel per hari. Jumlah itu hanya 2,4 persen dari produksi OPEC, yang sebesar 33,6 juta barel per hari.
Sikap Jonan membekukan keanggotaan Indonesia di OPEC sesungguhnya masih kurang tegas. Menteri semestinya langsung menarik Indonesia dari keanggotaan OPEC. Sebagai net importer minyak, Indonesia tidak menerima banyak faedah dengan menjadi anggota OPEC. Bahkan tiap tahun pemerintah harus membayar puluhan miliar rupiah sebagai iuran anggota OPEC. Pada 2009, ketika Indonesia hengkang dari OPEC, iuran yang dibebankan mencapai US$ 3,1 juta (Rp 42 miliar) per tahun. Belum lagi biaya-biaya transportasi serta akomodasi yang harus dikeluarkan bagi pejabat negara setiap kali menghadiri pertemuan OPEC.
Kalau pemerintah masih khawatir akan keamanan pasokan minyak, Indonesia bisa menjadi observer OPEC, seperti halnya Rusia dan beberapa negara lain. Jadi, tanpa harus terikat dengan organisasi tersebut, Indonesia dapat menjaga komunikasi dengan produsen minyak dunia.
Alasan yang menyebutkan Indonesia perlu bertahan di OPEC demi mendapatkan pasokan minyak dengan harga miring juga tak bisa diterima. Faktanya, harga minyak yang diterima Indonesia dari tahun ke tahun selalu tinggi. Pemerintah tak perlu pula malu dicap plin-plan lantaran baru saja bergabung kembali dengan OPEC pada awal 2016. Sebagai penentu kebijakan publik, Jonan mesti mengutamakan kepentingan nasional di atas pertimbangan lain.