Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia harus segera membuka penyelidikan baru mencari komplotan Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi, yang pekan lalu dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi anggaran alat utama sistem persenjataan (alutsista). Kita tak percaya Teddy seorang diri menyelewengkan dana US$ 12,4 juta atau senilai Rp 160 miliar. Karena itu, aparat penegak hukum mesti menelisik siapa saja komplotan Teddy itu.
Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta terhadap Teddy, Rabu pekan lalu, patut diapresiasi. Majelis hakim mencetak sejarah peradilan militer, menghukum seorang jenderal bintang satu dengan penjara seumur hidup, jauh lebih tinggi daripada tuntutan Oditur Militer, yang menuntut mantan Kepala Bidang Pembiayaan Kementerian Pertahanan tersebut 12 tahun penjara. Sebelum ini, hanya dua koruptor yang divonis setinggi itu, yaitu pembobol duit BNI, Adrian Waworuntu, dan bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang menerima suap dalam sengketa pemilihan kepala daerah.
Tapi vonis itu tak boleh hanya menjadi "kosmetik" untuk memoles independensi peradilan militer-dari oditurat sebagai penyidik dan penuntut hingga pengadilan-yang selama ini sangat diragukan. Aparatur hukum di tubuh militer harus memastikan semua pelaku yang terlibat dalam korupsi Teddy dihukum.
Karena itu, Kementerian Pertahanan tak perlu ragu menjalankan rencana menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi. Kerja sama penegakan hukum ini harus dijadikan momentum untuk membongkar mafia pengadaan alutsista, yang sebelum ini banyak disebut, tapi tak satu pun tersentuh hukum. Korupsi Teddy jelas hanya pucuk gunung es dari tingkah polah mereka.
Upaya memerangi mereka semakin mendesak di tengah komitmen pemerintah terus berupaya menggenjot modernisasi alutsista. Tahun depan, anggaran Kementerian Pertahanan untuk pertama kalinya akan menjadi yang tertinggi dibanding anggaran kementerian dan lembaga lain, yaitu Rp 108 miliar. Presiden Joko Widodo bahkan sejak awal tahun berikrar kelak akan menjadikan anggaran militer mencapai 1,5 persen dari produk domestik bruto atau lebih dari Rp 250 triliun.
Riset terakhir Transparency International tentang indeks antikorupsi di bidang pertahanan menempatkan Indonesia di kategori "D" dari rentang penilaian A hingga E. Artinya, sektor ini paling rawan terhadap korupsi. Kajian itu mengungkap tiga hal utama sebagai penyebabnya: lemahnya pengawasan yang independen, pengadaan kerap menghamburkan uang publik, dan rendahnya akuntabilitas keuangan. Ironis jika anggaran militer itu dinaikkan, tapi korupsi tetap merajalela.
Kini nasib komitmen pemberantasan mafia alutsista ada di tangan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Sebagai penggagas program bela negara dan penyeru semangat kebangsaan, keduanya semestinya tahu betul penyelewengan dana pengadaan alat tempur sama halnya dengan menggerogoti kemampuan negara ini bertahan dari ancaman serbuan asing. Tugas dua jenderal itu membasmi "benalu" yang memakan anggaran militer selama ini.