Toleransi beragama di Indonesia kembali ternoda. Sekelompok orang yang berhimpun dalam Pembela Ahlus Sunnah (PAS) membubarkan Kebaktian Kebangunan Rohani, yang diselenggarakan umat Kristen di Gedung Sabuga, Bandung, Selasa malam lalu. Sekelompok orang ini memprotes penggunaan Gedung Sabuga, yang merupakan fasilitas umum, untuk kegiatan ibadah.
Sekelompok orang yang tidak toleran ini menganggap kebaktian tersebut semestinya berlangsung di gereja. Permintaan PAS ini bertolak belakang dengan argumentasi yang dibangun sejumlah umat Islam yang menyelenggarakan salat Jumat di Lapangan Monumen Nasional pada Jumat pekan lalu. Ketika itu ratusan ribu orang berdoa dan beribadah sebagai bagian dari cara menekan pemerintah agar menahan calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Padahal Lapangan Monas dan jalan raya di sekitarnya merupakan fasilitas umum yang sepatutnya tidak digunakan untuk kegiatan ibadah.
Kelompok intoleran ini menerapkan standar berbeda terhadap umat Kristen yang menyelenggarakan kebaktian. Kegiatan ini sebenarnya bukan merupakan ritual khusus dalam liturgi Kristen. KKR itu mirip dengan pengajian akbar atau istigasah akbar yang juga kerap digelar di tempat umum, seperti alun-alun dan stadion olahraga. Kegiatan salat Idul Fitri maupun Idul Adha saban tahun juga memanfaatkan tempat umum.
Polisi sebagai alat negara seolah tak mampu memberikan perlindungan kepada umat beragama untuk menjalankan ibadahnya. Padahal konstitusi mengatur jaminan kebebasan menjalankan agama bagi para pemeluknya. Dalam menangani penolakan kebaktian itu, polisi seperti didikte oleh sekelompok orang tersebut. Gerombolan orang tak toleran itu leluasa meneror dan mengintimidasi.
Bila polisi terus membiarkan hal ini, keragaman kita kian terancam. Jika polisi terus membiarkan tindakan kelompok yang suka berbuat sewenang-wenang, ruang ekspresi keagamaan makin sempit. Sekelompok umat dari agama mayoritas membuat ukuran benar dan salah secara tidak adil terhadap kelompok minoritas.
Sudah sepatutnya, ketika ada sekelompok orang telah merongrong kebebasan, polisi sebagai tangan negara hadir dan bertindak tegas. Negara wajib menjamin keamanan kegiatan semacam pengajian umum, dakwah, atau kebaktian. Jaminan keamanan itu diwujudkan dengan menjaganya dari gangguan massa tak toleran.
Bandung merupakan satu dari tiga kota, bersama Denpasar dan Yogyakarta, yang mendapat predikat kota Islami pada Mei lalu. Indeks kota Islami ini merujuk ke hasil kajian Maarif Institute, lembaga yang bergerak di bidang kemajemukan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ukuran kota Islami ini ada pada tiga aspek: aman, sejahtera, dan bahagia. Bandung masuk peringkat tinggi kota Islami karena adanya jaminan keamanan.
Setahun yang lalu, Wali Kota Ridwan Kamil juga menyatakan Bandung merupakan kota ramah hak asasi manusia. Pelarangan kebaktian oleh sekelompok orang itu mencoreng-moreng predikat Bandung sebagai kota Islami dan kota ramah hak asasi manusia. Polisi dan Pemerintah Kota Bandung harus segera memulihkannya agar kembali menjadi kota toleran dan menjunjung tinggi hak asasi.***