Persidangan perkara penistaan agama yang didakwakan kepada Basuki Tjahaja Purnama merupakan ujian. Lembaga peradilan harus membuktikan netralitas dan independensinya.
Dipimpin langsung Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota Jupriadi, majelis perkara dengan anggota Abdul Rosad, I Wayan Wirjana, dan Joseph V. Rahan Toknam, SH, ini dituntut profesional. Mereka harus menjaga martabat pengadilan dan menegakkan prinsip independen seorang hakim.
Kelima hakim senior ini harus menjunjung tinggi sikap mandiri seperti tertuang dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim. Dalam ketentuan tersebut, hakim harus independen dalam memutuskan perkara dan tidak bisa ditekan atau diintervensi pihak mana pun. Termasuk oleh tekanan massa sekalipun. Sandaran hakim adalah fakta atau alat bukti di persidangan.
Sejak awal, kasus ini tidak bisa dipisahkan dari tekananmassa yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang menuntut agar Ahok dipenjara dan dihukum dalam kasus itu. Sejumlah organisasi masyarakat dan keagamaan ini sudah tiga kali turun ke jalan untuk menuntut hal tersebut.
Mereka berdalih ingin menegakkan isi fatwa MUI yang menyebutkan pidato Ahok yang menyitir Surat Al-Maidah 51 di Kepulauan Seribu pada akhir September lalu adalah tindakan penistaan agama. Atas tekanan massa itu, terutama aksi 4 November lalu, Presiden Joko Widodo berjanji menuntaskan kasus tersebut dalam dua pekan. Janji Jokowi ini kemudian dilaksanakan oleh Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian.
Sejak itu, penanganan perkara ini di Markas Besar Kepolisian sampai Kejaksaan Agung berlangsung serba cepat. Hanya dalam dua pekan, kepolisian telah merampungkan penyidikan perkara ini. Pada tahapan pra-penuntutan di Kejaksaan Agung, proses dari berkas dinyatakan lengkap sampai penyusunan dakwaan hanya butuh waktu tiga hari. Hal yang juga menjadi sorotan publik, dalam hitungan jam, berkas itu sudah dilimpahkan ke pengadilan. Bila hal ini dilakukan lantaran Kejaksaan bekerja profesional, patut kita acungi jempol. Namun, bila dilakukan karena takut pada tekanan publik, hal itu amat disesalkan.
Publik sangat berharap pengadilan itu bisa berjalan netral tanpa tekanan pihak mana pun. Namun harapan itu kini menjadi tanda tanya besar. Bila dilihat dari komposisi ahli yang bakal dimintai keterangannya di pengadilan, polisi dan jaksa cenderung memilih yang keterangannya memberatkan tuduhan ke Ahok. Mayoritas ahli pidana, bahasa, dan agama yang menganggap pernyataan Ahok bukan penistaan agama saat kasus masih dalam tahap penyelidikan tidak dipakai lagi.
Persidangan kasus Ahok ini adalah "pertaruhan" besar. Majelis hakim seharusnya tetap netral dan tak takut bersikap. Saksi dan ahli dari pihak-pihak yang beperkara harus tetap ditakar keterangannya. Jika perlu, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 180, hakim bisa menghadirkan saksi dan ahli di luar daftar yang dihadirkan jaksa dan terdakwa.