Ikhsan Darmawan
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Penulis tahun lalu terlibat dalam sebuah riset tentang sistem transportasi publik terintegrasi di Jakarta. Riset tersebut didanai oleh dana hibah kampus tempat penulis mengabdi. Salah satu temuan penting hasil riset adalah kepala daerah inkumben tidak memiliki konsep yang jelas dan benar dalam membangun transportasi publik terintegrasi. Praktek implementasi kebijakan transportasi publik yang terlihat selama ini seperti berjalan sendiri. Padahal seharusnya pembangunan yang baik dipayungi oleh sebuah konsep yang mengarahkan bagaimana semestinya kebijakan dijalankan.
Menurut Yiu Kwok Kin Antonio (2005), transportasi publik terintegrasi dapat didefinisikan sebagai transportasi yang menyediakan perjalanan kepada penumpang dengan memberi koneksi pelayanan yang baik, waktu tunggu untuk pergantian moda yang reasonable, informasi yang komprehensif, dan tiket yang terintegrasi antar-moda transportasi berbeda. Hemat kata, sistem transportasi publik terintegrasi wajib sifatnya menyediakan perjalanan yang terintegrasi menggunakan seluruh moda transportasi publik sehingga cocok dengan rute seluruh penumpang.
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menekankan bahwa, untuk mengatasi kemacetan Jakarta, sistem transportasi publik terintegrasi diwujudkan dengan cara menambah jumlah bus Transjakarta. Pertanyaannya, apakah kebijakan Transjakarta itu sejalan dengan konsep transportasi publik terintegrasi? Penulis masih belum yakin dengan hal itu.
Dengan menggebu-gebu dan terburu-buru, Ahok telah menjalankan kebijakan pembukaan 17 trayek baru Transjakarta pada tahun ini. Persoalannya, transportasi publik terintegrasi bukan sekadar kuantitas. Aspek kualitas juga perlu menjadi pertimbangan.
Kualitas itu, seperti disebutkan Antonio, antara lain apakah memudahkan perpindahan antarmoda, berapa lama waktu tunggu, informasi yang komprehensif, dan tiket yang terintegrasi antarmoda. Secara kasatmata, perpindahan antarmoda di titik tertentu ada yang relatif memudahkan, tapi tidak mempertimbangkan aspek lainnya untuk memudahkan itu.
Sebagai contoh, pada Transjakarta rute Palmerah-Sudirman, tempat bus di dekat Stasiun Palmerah ditempatkan di badan jalan. Padahal, sebelum ada Transjakarta, jalan di sebelah Stasiun Palmerah sudah macet. Apalagi dengan ditambah adanya bus Transjakarta di situ, sehari-hari jalanan di situ semakin tidak dapat lepas dari kemacetan.
Selanjutnya, untuk waktu tunggu dan informasi yang komprehensif, penulis belum memiliki data spesifik soal hal itu. Namun, berdasarkan pengamatan lapangan pada dua rute, Depok-Cawang dan Palmerah-Sudirman, seringkali terlihat sepi. Ini boleh jadi ada kaitannya dengan soal waktu tunggu dan kurang terinformasinya secara menyeluruh mengenai rute-rute baru Transjakarta ini.
Berikutnya mengenai tiket yang terintegrasi antarmoda masih bersifat terbatas dan bahkan cenderung tidak diusahakan untuk dapat terintegrasi. Sejak awal diterapkan e-ticketing di Transjakarta, kartu yang bisa dipakai hanya Flazz BCA. Pertanyaannya ialah mengapa tidak bisa seperti di Beijing, dengan satu kartu bisa dipakai di bus, kereta, dan moda transportasi lain? Mengapa sampai saat ini Transjakarta belum juga dikoneksikan dengan tiket berlangganan kereta api Commuterline?
Selain di pembangunan transportasi publik, pembangunan minus konsep terlihat pada kegiatan penggusuran di sejumlah wilayah Jakarta. Secara konseptual, pembangunan ditujukan untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh warganya. Namun hal itu tidak terjadi dalam kasus penggusuran yang terus terjadi.
Penulis menangkap maksud Gubernur DKI melakukan penggusuran adalah membuat Jakarta seperti Singapura. Dengan demikian, pembangunan diartikan olehnya sebagai perwujudan dari modernitas semata. Pertanyaannya, apakah infrastruktur modern seperti Singapura merupakan kebutuhan dan untuk menyejahterakan (baca: membahagiakan) mayoritas masyarakat Jakarta? Sayangnya, hal itu tidak pernah ditanyakan kepada publik. Seakan-akan imajinasi bagaimana sebaiknya pembangunan diwujudkan adalah hak mutlak dari gubernur semata.
Selama ini Singapura di satu sisi memang membanggakan pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain berhadapan dengan kondisi ketika tingkat dan jumlah bunuh diri warganya relatif tinggi. Menurut Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga Singapura Tan Chuan-Jin, selama 2010-2014, rata-rata setiap tahun ada 400 kasus bunuh diri dan seribu kasus percobaan bunuh diri. Sangat mungkin hal itu berkaitan dengan pembangunan yang selama ini lebih berorientasi pada infrastruktur daripada kebahagiaan manusia.
Seakan sejalan dengan itu, dalam kasus penggusuran di Jakarta, Ahok hanya berambisi membangun infrastruktur dengan cara melakukan penggusuran, tapi tidak memikirkan bagaimana dengan manusianya. Kita bisa melihat setidaknya setelah masyarakat yang digusur dipindahkan ke rumah-rumah susun, banyak yang tidak sanggup membayar iuran bulanan. Artinya, kebijakan penggusuran itu bermasalah. Belum lagi masyarakat itu terpaksa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan mencari penghidupan yang baru.