Penangkapan Dian Yulia Novi bersama tiga terduga teroris di Bekasi pada Sabtu pekan lalu menunjukkan ancaman teror bom di negeri ini belum mereda. Langkah sigap kepolisian menangkap perempuan kelahiran Cirebon, Jawa Barat, tahun 1989 itu memunculkan wajah baru dalam panggung kejahatan teror kita: perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.
Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap Dian Yulia, perempuan yang diduga dipersiapkan sebagai calon "pengantin" atau pelaku bom bunuh diri ke pos penjagaan di Istana Merdeka. Dari kamar kontrakannya di kawasan Bintara Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, polisi menyita bom berdaya ledak tinggi seberat 3 kilogram. Kepala Kepolisian Tito Karnavian sudah menyimpulkan bahwa Bahrun Naim, pentolan Mujahidin Indonesia Timur yang berafiliasi dengan kelompok ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), merupakan otak teror ini.
Munculnya perempuan sebagai calon pelaku bom bunuh diri menjadi pekerjaan rumah serius bagi polisi untuk mengantisipasinya. Polisi tak boleh lagi hanya berfokus mewaspadai ancaman teror bom dengan "pengantin" laki-laki. Apalagi, sebelum Dian, polisi juga sempat menangkap perempuan yang diduga dipersiapkan menjadi "pengantin" saat penggerebekan terduga teroris di Depok, beberapa waktu lalu. Karena bukti-bukti kurang kuat, perempuan itu kemudian dilepaskan.
Kini, kerja polisi harus ekstrakeras untuk mewaspadai serta mengantisipasi langkah "Dian-Dian" lainnya yang siap melakukan "amaliyah" istilah yang dipahami di kalangan mereka sebagai "melancarkan serangan". Seorang bekas kombatan Afganistan, Moro, dan Ambon menyebutkan masih banyak perempuan yang siap menjadi calon pelaku bom bunuh diri. Jumlahnya mencapai puluhan.
Kepolisian dan lembaga antiteror juga perlu mewaspadai dan mengantisipasi metode perekrutan calon pelaku bom. Mereka tak lagi merekrut calon "pengantin" lewat tatap muka atau berhubungan langsung secara fisik. Para teroris itu merekrut mereka melalui media sosial, yang terbukti cukup efektif mengubah seorang perempuan menjadi calon "pengantin", yang rela mati demi keyakinannya.
Langkah mencegah timbulnya model baru rekrutmen itu harus segera diambil. Penerapan undang-undang tentang kejahatan di dunia maya (cyber crime) harus lebih efektif lagi. Tindakan preventif ini sangat penting agar tidak lagi menambah panjang barisan perempuan yang siap menjadi calon pelaku bom bunuh diri.
Bukan hanya itu. Upaya mencegah suburnya terorisme tentu harus ditingkatkan lagi. Salah satunya, meningkatkan program deradikalisasi yang selama ini telah bergulir. Munculnya Dian Yulia Novi dan puluhan perempuan lain yang diduga siap menjadi calon pelaku bom bunuh diri mengindikasikan kurang optimalnya program deradikalisasi tersebut. Nyatanya, selain ancaman teror bom terus berlangsung, calon "pengantin" pun kini seorang perempuan.