Pemerintah harus mematuhi putusan Mahkamah Agung membatalkan izin lingkungan pembangunan pabrik milik PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah. Putusan ini sebetulnya bisa dicegah jika pemerintah taat ketentuan dan mendengarkan aspirasi penduduk sejak dini.
PT Semen mendapat izin pertambangan dari pemerintah Rembang sejak 2011. Izin lingkungannya dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo tahun berikutnya. Lokasi eksplorasi karst dan pabrik itu ditentang penduduk sejak awal karena berada di wilayah cekungan air tanah (CAT) Watuputih.
Cekungan air tanah merupakan daerah resapan, aliran, dan pelepasan air tanah. Penambangan di kawasan itu dikhawatirkan merusak area konservasi air. Peneliti geologi asal Institut Pertanian Bogor, Untung Sudadi, menyebutkan CAT dan karst di Pegunungan Kendeng itu sangat penting bagi kawasan utara Jawa Tengah, karena menjaga pasokan air pada musim kemarau sekalipun.
Bukan hanya masyarakat sekitar yang bergantung pada sumber air Kendeng, melainkan juga Perusahaan Air Minum Daerah Rembang dan Blora. Jika Kendeng ditambang, dikhawatirkan paceklik air akan mulai terjadi pada musim kemarau karena tak ada lagi resapan air di dataran tinggi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011, sudah menetapkan kawasan Watuputih sebagai CAT. Peraturan Daerah Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031 juga menetapkannya sebagai kawasan lindung geologi. Kalau begitu, mengapa izin pembangunan pabrik, termasuk izin lingkungannya, tetap diberikan?
Bibit Waluyo pernah mempertanyakan sikap penduduk yang menolak proyek itu karena tak melihat sisi baiknya, yaitu membuka lapangan kerja bagi warga lokal. Industri itu juga akan menjadi sumber dana baru bagi kas pemerintah daerah. Pertimbangan pemerintah ini bisa dimengerti, tapi kekhawatiran penduduk atas masa depannya akibat keberadaan pabrik itu juga sangat masuk akal.
Pemerintah memang harus rasional mempertimbangkan, apakah lapangan kerja yang dibuka dan pajak yang disetorkan ke kas daerah sebanding dengan kerugian akibat kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkan. Dilemanya bagi pemerintah Jawa Tengah di bawah Ganjar Pranowo kini lebih besar karena pabrik dengan investasi sekitar Rp 4 triliun itu sudah berdiri, tapi putusan hakim peninjauan kembali Mahkamah Agung pada 4 Oktober 2016 lalu mendengarkan keberatan penduduk karena menemukan masalah dalam perizinannya.
Inilah dilemanya. Langkah pemerintah menghentikan proyek yang sudah telanjur mengeluarkan dana besar berpotensi menggerogoti kepercayaan dunia usaha. Namun mengabaikan putusan pengadilan juga merupakan tindakan menabrak hukum. Situasi ini sebetulnya tak akan muncul jika pemerintah taat aturan sejak awal, yaitu tak memberi izin pembangunan pabrik di daerah yang seharusnya dilindungi, dan serius mendengarkan aspirasi pihak pertama yang wajib dilayani kepentingannya: rakyat.