Pemerintah tak boleh membiarkan sweeping liar yang dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Front Pembela Islam terhadap sejumlah toko dan mal. Jika dibiarkan, selain meresahkan masyarakat, tindakan tersebut juga membuat publik menilai aparat keamanan tak berdaya menghadapi orang-orang semacam itu.
Kelompok ini merazia pernak-pernik perayaan Natal di pusat-pusat belanja dan perusahaan di berbagai kota. Pekan lalu, misalnya, mereka melakukan sweeping terhadap sebuah showroom mobil di Bekasi. Mereka berkilah tindakan tersebut dijalankan berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan penggunaan atribut non-muslim bagi karyawan muslim. Alasan ini tak bisa diterima. Sebab, fatwa jelas berbeda dengan undang-undang yang mengikat setiap warga negara.
Kewenangan melakukan razia atau penertiban berada pada negara melalui aparat penegak hukum. Untuk melakukan razia atau sweeping, juga ada prosedur yang harus diikuti. Dan yang utama, mesti ada surat perintah. Dalam hal sweeping yang dilakukan sekelompok orang tersebut, jelas tindakan itu sama sekali tak berdasar.
Undang-Undang Dasar kita mengakui hak asasi setiap warga negara untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Jika ada pengelola mal, toko, atau perusahaan memaksa karyawannya mengenakan simbol-simbol agama lain dan si pegawai tak terima, tentu aduan itu harus diproses. Pemaksaan tersebut, jika terbukti, merupakan pelanggaran serius.
Tapi menafsirkan penggunaan atribut seperti topi model Santa Claus oleh industri dan pemasaran yang selalu menumpang pada event perayaan apa pun sebagai bahaya Kristenisasi, dan karena itu harus dirazia, merupakan hal yang berlebihan. Menganggap seorang muslim akan berkurang imannya atau terancam keislamannya hanya karena bekerja di toko yang memajang pohon Natal adalah sebuah pelecehan dan penghinaan.
Bukan hanya sekali ini sekelompok orang dengan membawa argumen agama menebar ketakutan dan memaksakan kehendak dengan ancaman kekerasan fisik maupun verbal. Berulang kali juga kita menyaksikan kegamangan para petugas kepolisian. Bahkan, dalam beberapa peristiwa, polisi atau pemerintah daerah terkesan membiarkan tindakan yang jelas-jelas melawan hukum itu. Negara seperti tak berdaya melindungi kepentingan publik. Aparatnya kalah oleh tekanan dan intimidasi massa.
Ketakutan yang meluas dan hilangnya rasa aman juga akan sangat merugikan perekonomian. Iklim investasi akan terganggu bila tak ada jaminan bagi pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Pada akhirnya masyarakat jugalah yang akan menanggung dampaknya.
Kepolisian harus mengembalikan rasa aman dan menghentikan teror dalam bentuk razia itu. Kepolisian bisa bekerja sama dengan kepala daerah, yang juga memiliki satuan polisi pamong praja, untuk menghentikan dan menangkapi para pelaku sweeping liar itu. Mereka layak diajukan ke meja hijau.