Keinginan dua tersangka korupsi KTP elektronik menjadi pengungkap keadilan (justice collaborator) patut disambut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, serta pejabat pembuat komitmen proyek e-KTP, Sugiharto,sudah mengajukan permohonan kepada KPK.
Irman dan Sugiharto, melalui kuasa hukum mereka, Soesilo Ariwibowo, mengatakan akan buka-bukaan mengenai aliran uang dari proyek senilai Rp 5,9 triliun itu.Jika betul mereka memiliki data tersebut, jelas hal itu akan sangat membantu pengusutan kasus dugaan korupsi yang telah berlangsung sejak 2013 ini.
Proyek e-KTP diduga merugikan negara hingga Rp 2,1 triliun. Kerugian muncul akibat ketidaksesuaian antara teknologi yang dijanjikan dan yang sesungguhnya dipakai oleh konsorsium--PT Percetakan Negara Republik Indonesia, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, PT LEN Industri, dan PT Sandipala Arthaputra. Dalam tender, mereka berjanjiakan menyediakan juga pemindai mata. Nyatanya, yang ada hanya pemindai sidik jari.
Proses pengadaan dan distribusi alat pun kacau. Di banyak daerah, komputer dan pemindai datang terlambat. Ada juga yang rusak dan harus diganti. Keterlambatan tersebut membuat jadwal perekaman data penduduk dan pembagian e-KTP tertunda. Semula, pemerintah menargetkan proyek ini selesai sebelum pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir. Nyatanya, bahkan sampai sekarang masih ada warga yang belum memiliki e-KTP.
Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, mengatakan uang proyek e-KTP mengalir hingga ke anggota DPR. Pembagian jatah tersebut, menurut dia, diatur oleh Setya Novanto.
Masalahnya, KPK belum bisa membuktikan tudingan tersebut, meski telah memeriksa Setya dan para anggota Komisi Pemerintahan DPR kala itu. Legislator yang telah diperiksa KPK antara lain Chairuman Harahap, Agun Gunandjar, Arif Wibowo, Teguh Juwarno, Taufik Effendi, Khatibul Umam Wiranu, Markus Nari, Miryam Haryani, dan Ganjar Pranowo--kini Gubernur Jawa Tengah.
KPK juga telah memeriksa bekas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Dia membantah menerima fee dari proyek e-KTP. Gamawan dicurigai memperoleh pembagian melalui adiknya, Azmin Aulia. Dalam Panama Papers--dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca--yang dipublikasikan pada April lalu, disebutkan bahwa Azmin ternyata memiliki hubungan dengan Paulus Tanos, pemilik PT Sandipala Arthaputra.
Pada titik inilah tawaran Irman dan Sugiharto amat penting. KPK dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mesti mempertimbangkan permohonan keduanya dengan sungguh-sungguh. Tak ada salahnya memberikan fasilitas dan pengurangan hukuman bagi keduanya. Asalkan, KPK yakin data aliran dana dari mereka bisa membantu menyeret para pelakuutama dugaan korupsi ini ke pengadilan.