Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Demokrasi Kerumunan

image-profil

image-gnews
Iklan

POLTAK PARTOGI NAINGGOLAN
Pengamat politik dan keamanan

Apa yang kita bisa tarik sebagai pelajaran dalam perkembangan demokrasi kita dari peristiwa politik yang telah berlangsung belakangan ini, terutama demonstrasi masif di Jakarta pada 4 November dan pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 9 September lalu? Tentu saja mengenai kematangan dalam berdemokrasi. Suka atau tidak suka dengan Donald Trump yang telah terpilih, pesaingnya, Hillary Clinton, segera mengakui kekalahan dan memberi ucapan selamat kepadanya. Namun para pendukung Hillary masih tidak percaya akan hasil penghitungan suara tersebut. Yang juga tidak percaya adalah pengagum dan pendukung Hillary di sini.

Banyak orang di Tanah Air yang terkecoh dalam menilai apa yang terjadi serta memprediksi perkembangan dan situasi yang ada akibat data yang terbatas dan sikap terburu-buru dalam menyampaikan pendapat, termasuk di media massa. Kebiasaan berpikir di permukaan inilah yang tampaknya menyebabkan banyak reaksi yang keliru terhadap perkembangan demokrasi di sini serta di AS, yang selama ini menjadi model demokrasi yang maju.

Tidak aneh jika perdebatan di media sosial pun berkembang semakin tidak sehat dengan tambahan komentar soal prospek AS. Bahkan, sejumlah rekan yang berpendidikan tinggi, tanpa data, dengan cepat menyimpulkan AS akan menjadi negara diktator dengan berbagai praktek pelanggaran HAM. Semua itu komentar yang menyesatkan karena gagal menilai perkembangan demokrasi di masing-masing negara. Mereka lupa melihat AS sebagai negara dengan demokrasi yang sudah terkonsolidasi, kondisi yang berbeda dengan di Indonesia.

Seperti dikatakan Juan J. Linz dan Alfred Stephan (1996), sebuah demokrasi terkonsolidasi jika demokrasi memang sudah merupakan "the only game in town". Maknanya, semua masalah kenegaraan dapat diselesaikan secara beradab dengan mekanisme yang sudah mapan melalui perangkat-perangkat demokrasi tanpa pengerahan massa dan kekerasan. Di sana, para agen demokrasi, antara lain anggota parlemen, tidak berdemo di jalan, apalagi menggerakkan massa dan berlomba menyampaikan orasi di depan Istana. Juga, pers tidak berperilaku sebagai aktivis politik.

Sebaliknya, dalam sebuah demokrasi yang terkonsolidasi, semua masalah politik sudah harus dapat diselesaikan melalui berbagai dengar pendapat dan sidang-sidang di parlemen. Di DPR, semua kekurangan pemerintah harus dapat secara tuntas diungkap dan diselesaikan karena anggotanya telah dilengkapi dengan hak-hak dan kewenangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi demokrasi yang sudah terkonsolidasi selalu menjauhkan diri dari upaya pengumpulan massa dan unjuk rasa fisik, yang sering dijadikan parameter keberhasilan kerja politikus, terutama demagog. Kalau praktek tersebut terus ditunjukkan, termasuk dengan ancaman menggelar demonstrasi masif pada 25 November atau 2 Desember, kualitas demokrasi kita masih dalam tahap "demokrasi kerumunan". Terminologi itu mengikuti analisis mengenai "masyarakat kerumunan" yang sering diangkat sosiolog Imam Prasodjo. Jika praktek ini yang terus diperlihatkan elite politik, kalangan terpelajar, dan pemimpin agama dalam menciptakan tekanan publik yang besar terhadap aparat penegak hukum agar segera menjatuhkan sanksi hukuman yang sesuai dengan harapan mereka terhadap tersangka kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, perkembangan demokrasi kita setelah 16 tahun reformasi politik dicanangkan tidak akan naik kelas.

Kegandrungan terhadap gelar kekuatan massa dan fisik akan membuat arah perkembangan dan kualitas demokrasi kita sekelas dengan Pakistan, Mesir, Turki, Filipina, Korea Selatan, serta Thailand, yang rawan kerusuhan massa dan kudeta politik. Transisi demokrasi yang telah berlangsung pun akan berakhir. Dalam situasi ini, aparat keamanan dan militer akan selalu dibutuhkan dan memperoleh legitimasi politik untuk mengambil alih keadaan dan mengembalikan stabilitas politik.

Tidaklah berlebihan jika kita harus mengatakan bahwa masyarakat kita kini masih merupakan "masyarakat kerumunan yang terbelah" dan amat rapuh. AS juga pernah terbelah akibat kompetisi dalam pemilihan  presiden yang ketat antara Bush dan Al Gore. Namun keadaan itu dapat segera terkoreksi karena praktek demokrasi yang sudah terkonsolidasi. Sekarang juga AS tampak terbelah akibat Trump yang kontroversial selama kampanye. Namun hal itu akan segera pulih karena Trump akan dipaksa mengubah sikapnya menjadi selayaknya presiden sebagaimana dituntut seluruh rakyat AS. Situasi ini berbeda dengan masyarakat Indonesia, yang tampak semakin terpecah-belah merespons kemenangan Trump.

Demokrasi yang terkonsolidasi membutuhkan kepedulian atas informasi yang akurat dan kecerdasan dalam bersikap. Tanpa ini, massa hanya merupakan kerumunan yang rawan digerakkan untuk menciptakan situasi anarkistis yang diharapkan elite politik dan demagog dengan kepentingan pragmatis mereka. Apakah Indonesia masih ada dan sampai kapan ia masih bisa bertahan? Jawabannya tentu berpulang pada bangsa ini. Apakah mereka masih memiliki keinginan bersama (volonte generale, Renan 1882), yang merupakan alasan atau dasar untuk menjadi sebuah negara bangsa yang majemuk, seperti dicita-citakan para pendirinya?

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Komisi Luar Negeri DPR Sebut Penembakan Donald Trump Jadi Momen Pengingat Berdemokrasi

11 hari lalu

Kandidat presiden dari Partai Republik dan mantan Presiden AS Donald Trump memberi isyarat saat ia masuk ke dalam kendaraan dengan bantuan personel Secret Service AS setelah ia tertembak di telinga kanannya saat kampanye di Butler Farm Show di Butler, Pennsylvania, AS, 13 Juli  2024. Setelah dirawat di rumah sakit terdekat, Trump sudah diperbolehkan pulang. REUTERS/Brendan McDermid
Komisi Luar Negeri DPR Sebut Penembakan Donald Trump Jadi Momen Pengingat Berdemokrasi

Penembakan terhadap Donald Trump merupakan bentuk kekerasan politik yang tidak boleh ditoleransi.


Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pembubaran Konstituante dan Pembentukan MPRS dan DPAS, Begini Bunyinya

21 hari lalu

Presiden pertama RI, Sukarno, berpidato di hadapan delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 1955. Bung Karno menunjukkan karismanya di hadapan kepala negara dari Asia dan Afrika. Lisa Larsen/The LIFE Picture Collection/Getty Images
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pembubaran Konstituante dan Pembentukan MPRS dan DPAS, Begini Bunyinya

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah keputusan penting dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Isinya mencakup beberapa poin utama ini.


Mahkamah Agung AS Putuskan Donald Trump Kebal Hukum, Joe Biden Berang

23 hari lalu

Kandidat Partai Demokrat, Presiden AS Joe Biden, berbicara dalam debat presiden dengan kandidat Partai Republik, mantan Presiden AS Donald Trump, di Atlanta, Georgia, AS, 27 Juni 2024. REUTERS/Brian Snyder
Mahkamah Agung AS Putuskan Donald Trump Kebal Hukum, Joe Biden Berang

Joe Biden menyebut keputusan Mahkamah Agung mengenai Donald Trump memiliki kekebalan hukum merupakan preseden berbahaya.


Anggota Parlemen Thailand Berkunjung ke Tempo Belajar Demokrasi dan Kebebasan Pers

27 hari lalu

Tokoh Move Forward Party dari Thailand saat mengunjungi Kantor TEMPO Media Grup di Jalan Pal Merah, Jakarta, Kamis 27 Juni 2024. TEMPO/Subekti.
Anggota Parlemen Thailand Berkunjung ke Tempo Belajar Demokrasi dan Kebebasan Pers

Anggota parlemen Thailand berkunjung ke Tempo mempelajari demokrasi, kebebasan pers dan berpendapat, serta antikorupsi.


Partai Move Forward: Masih Ada Sisa-Sisa Rezim Militer di Thailand

28 hari lalu

Tokoh Move Forward Party dari Thailand saat mengunjungi Kantor TEMPO Media Grup di Jalan Pal Merah, Jakarta, Kamis 27 Juni 2024. TEMPO/Subekti.
Partai Move Forward: Masih Ada Sisa-Sisa Rezim Militer di Thailand

Juru bicara Partai Gerakan Maju (MFP) berkomentar tentang kondisi demokrasi di Thailand. Ia berpendapat masih ada sisa-sisa rezim militer di negara tersebut.


Terancam Dibubarkan, Partai Move Forward akan Tetap Dorong Demokratisasi di Thailand

29 hari lalu

Tokoh Move Forward Party dari Thailand saat mengunjungi Kantor TEMPO Media Grup di Jalan Pal Merah, Jakarta, Kamis 27 Juni 2024. TEMPO/Subekti.
Terancam Dibubarkan, Partai Move Forward akan Tetap Dorong Demokratisasi di Thailand

Dalam wawancara khusus dengan Tempo, juru bicara Move Forward Party (MFP) memastikan mereka akan terus memperjuangkan demokrasi di Thailand.


Istana Respons Mahkamah Rakyat Adili Jokowi: Lazim dalam Demokrasi

31 hari lalu

Majelis hakim People's Tribunal atau Pengadilan Rakyat yang dinamakan Mahkamah Rakyat Luar Biasa di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa 25 Juni 2024. Sidang berisikan agenda menggugat Presiden Joko Widodo alias Jokowi atas berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintahannya. Dalam gugatan tersebut, Mahkamah Rakyat Luar Biasa menyebutkan bakal mengadili sembilan dosa atau
Istana Respons Mahkamah Rakyat Adili Jokowi: Lazim dalam Demokrasi

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana merespons Mahkamah Rakyat yang mengadili Jokowi. Apa katanya?


Romo Magnis Sebut Demokrasi Habis Jika Tak ada Partai Oposisi

37 hari lalu

Profesor Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno menjadi saksi ahli saat sidang lanjutan sengketa hasil pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, 2 April 2024. Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli yang dihadirkan oleh pemohon Tim Hukum pasangan Ganjar-Mahfud. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Romo Magnis Sebut Demokrasi Habis Jika Tak ada Partai Oposisi

Romo Magnis khawatir, jika pemerintahan saat ini didukung oleh hampir semua partai maka lembaga eksekutif dapat berbuat seenaknya.


Kemenkopolhukam Rilis Indeks Demokrasi Indonesia 2023, Hambatan Kebebasan Berpendapat dan Pers Meningkat

45 hari lalu

Massa yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Forum Jurnalis Freelance melakukan aksi damai di depan Kedutaan Besar Myanmar, Jakarta, Jumat, 7 September 2018. Vonis ini dianggap ancaman bagi kebebasan pers dan kemunduran demokrasi di negara Myanmar. TEMPO/Muhammad Hidayat
Kemenkopolhukam Rilis Indeks Demokrasi Indonesia 2023, Hambatan Kebebasan Berpendapat dan Pers Meningkat

Kemenkopolhukam merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2023 yang mengalami penurunan.


Mahkamah Konstitusi Thailand Akan Pertimbangkan Petisi Pembubaran Partai Move Forward

45 hari lalu

Pemimpin Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat berbicara kepada media usai pertemuan dengan mitra koalisi di Bangkok, Thailand, 18 Mei 2023. REUTERS/Athit Perawongmetha
Mahkamah Konstitusi Thailand Akan Pertimbangkan Petisi Pembubaran Partai Move Forward

Mahkamah Konstitusi Thailand memutuskan akan mempertimbangkan petisi dari Komisi Pemilihan Umum yang ingin membubarkan Partai Move Forward