Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ada Apa dengan Rush Money?

image-profil

image-gnews
Iklan

HARYO KUNCORO
Direktur Riset SEEBI dan pengajar di Universitas Negeri Jakarta

Belakangan ini, santer beredar ajakan menarik dana secara massal dari bank (rush money) yang disebarkan melalui media sosial. Pihak kepolisian mencatat sedikitnya ada 70 akun yang menyebarluaskan isu tersebut. Ajakan ini terkait dengan akan dilakukannya demonstrasi pada 2 Desember mendatang. Walhasil, tensi kegelisahan masyarakat kian tinggi. Kekhawatiran atas kondisi keamanan seperti demonstrasi pada 4 November lalu berakumulasi dengan keamanan secara ekonomi.

Fenomena ini mengingatkan pada krisis ekonomi 1997/1998, turbulensi ekonomi yang dimatangkan dengan kegaduhan politik yang berujung pada pergantian rezim. Salah satunya ditandai dengan antrean panjang untuk mengambil uang tunai di bank.

Membandingkan kedua kasus di atas tentu saja tidak adil. Sistem keuangan saat ini memiliki fondasi yang kuat. Beberapa indikator, seperti rasio kecukupan modal, manajemen risiko, dan cadangan wajib, memperlihatkan bahwa bank dalam status sehat untuk menjalankan fungsinya.

Fungsi perbankan menjembatani antara pemilik dana dan pihak yang butuh dana. Perbankan menghimpun dana dari nasabah. Hasilnya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana debitor. Jika kebutuhan debitor lebih besar daripada dana terhimpun, bank menyertakan modal sendiri dan/atau mencari sumber pendanaan lain.

Intinya, bank menjalankan misinya melalui proses transformasi antara simpanan masyarakat dan maturitas jangka pendek menjadi kredit dengan maturitas lebih panjang. Bank biasanya menyimpan kas untuk cadangan sendiri sebesar 5-10 persen dari total dana nasabah.

Namun sesehat apa pun perbankan niscaya akan sempoyongan jika mengalami penarikan dana massal. Bank yang kekurangan likuiditas bisa ambruk. Mata uang rupiah akan terpuruk, pasar saham anjlok, dan investor akan melarikan uangnya ke luar negeri. Dampak terbesarnya adalah instabilitas perekonomian.

Secara konseptual, penarikan dana massal disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kondisi internal perbankan. Saat bank dalam proses menuju kebangkrutan, misalnya, nasabah secara bersama-sama akan menarik dananya. Kasus Bank Duta pada dekade 1990-an menjadi pelajaran penting bank bangkrut karena kesalahan sendiri.

Kedua, kondisi ekonomi yang ekstrem. Pengalaman di Argentina dan Meksiko pada awal 1980-an menjadi bukti konkretnya. Perekonomian kedua negara itu didera krisis utang yang memacu inflasi yang hebat. Akibatnya, rakyat lebih memilih menarik uang tunai dari bank untuk mengejar kenaikan harga.

Akar dari kedua kemungkinan itu sebenarnya adalah kepercayaan. Artinya, rush money bisa terjadi kapan saja, terlepas dari kesehatan bank dan kondisi perekonomian yang kondusif, jika kepercayaan telah hilang. Imbasnya, nasabah yang sudah tidak percaya serentak menarik dana guna menghindari risiko yang lebih buruk.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jadi, rush money kalaupun betul-betul terjadi tidak berada pada ranah mana pun. Jika faktor kepercayaan dijadikan dasar, ini pun masih bisa diperdebatkan apakah obyektif karena kalkulasi teknis finansial atau hanya sebatas sentimen yang bersifat subyektif.

Konsekuensinya, penarikan dana juga masih harus ditelusuri lagi atas dasar bentuk simpanannya. Jika simpanan berjenis tabungan, penarikan telah dibatasi sampai nominal tertentu setiap hari. Apabila rekening tabungan ini sekaligus akan ditutup, jumlahnya pun relatif kecil (sekitar 10 persen) untuk menggoyang likuiditas perbankan.

Jika berbentuk deposito berjangka, penarikan dana yang belum jatuh tempo niscaya akan terkena penalti. Nasabah yang rasional tentu akan menghitung ulang untung-ruginya. Sangat boleh jadi, imbal hasil bersih yang diperoleh nasabah tidak cukup material untuk dibawa pulang.

Dengan skenario pesimistis tabungan dan deposito akan dicairkan seluruhnya, bank tentu sudah punya mekanisme untuk mengantisipasi risiko semacam ini. Langkah awalnya, bank yang terkena rush money akan menarik cadangan wajibnya yang disimpan di Bank Indonesia. Berikutnya, bank akan meminjam dari bank lain untuk memenuhi kebutuhan likuiditas nasabahnya. Kalaupun tidak mencukupi, bank akan meminjamnya dari bank sentral sebagai lender of the last resort.  Intinya, bank sehat tapi "kelimpungan" terkena rush money alih-alih mismanagement harus tetap hidup. Istilah populernya, "too big to fail".

Dalam konteks inilah, upaya penyelamatan Bank Century, yang kemudian menimbulkan polemik, sebenarnya dilatarbelakangi spirit agar masyarakat tidak terpengaruh kondisi sebuah bank. Kondisi ini potensial berefek sistemik, bukan hanya perbankan, tapi juga menjalar pada sektor riil.

Di sisi lain, aspek ideologis dipakai untuk alasan ajakan mencairkan uang di bank konvensional. Maka, opsi pengalihan dana menuju perbankan syariah sangat terbuka. Dalam hal ini, dana masyarakat sejatinya masih berada dalam sistem perbankan nasional sehingga stabilitas perekonomian tetap terpelihara.

Risiko yang masih harus diantisipasi adalah potensi migrasi dana ke luar negeri, alih-alih menuju bank syariah di dalam negeri. Mata rantainya akan menyambung dari penarikan dana, pembelian valuta asing, penurunan cadangan devisa, dan fluktuasi kurs. Pelarian modal ke luar negeri sayangnya terjadi di saat Trump effect masih berlangsung.

Namun perekonomian, sektor keuangan, dan industri perbankan Indonesia secara umum masih cukup tahan meredam gejolak rush money. Walhasil, tidak ada alasan yang andal untuk menyikapi rush money secara berlebihan.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Status Virus Corona Naik, Singapura Waspadai Rush Money?

12 Februari 2020

Turis mengenakan masker bedah saat mengunjungi di Merlion Park di Singapura, 28 Januari 2020. Di negara ini, 18 kasus corona telah dikonfirmasi. REUTERS/Feline Lim
Status Virus Corona Naik, Singapura Waspadai Rush Money?

Dubes RI di Singapura memastikan belum ada rush money oleh masyarakat setempat sehubungan dengan wabah virus corona.


Bantah Hoaks, Bos OJK: Tak Ada Rush Money Saat Aksi 22 Mei

25 Mei 2019

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso meninggalkan gedung KPK setelah pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 13 November 2018. Wimboh Santoso diperiksa sebagai saksi untuk pengembangan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi aliran dana bailout Bank Century yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,7 triliun. TEMPO/Imam Sukamto
Bantah Hoaks, Bos OJK: Tak Ada Rush Money Saat Aksi 22 Mei

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Wimboh Santoso memastikan tak ada aksi rush money saat aksi 22 Mei digelar.


Tersangka Penyebaran Isu Rush Money Tinggal Bersama Mertua  

26 November 2016

Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar menunjukan postingan AR, tersangka penyebar isu rush money, Sabtu, 26 November 2016, di Mabes Polri. Amirullah/Tempo
Tersangka Penyebaran Isu Rush Money Tinggal Bersama Mertua  

Tersangka masih rutin mengajar di sejumlah sekolah.


Diduga Penyebar Isu Rush Money, Guru SMK Pluit Ditangkap  

26 November 2016

Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar menunjukan postingan AR, tersangka penyebar isu rush money, Sabtu, 26 November 2016, di Mabes Polri. Amirullah/Tempo
Diduga Penyebar Isu Rush Money, Guru SMK Pluit Ditangkap  

Polisi mengatakan posting-an AR di Facebook yang berisi ajakan rush money sangat provokatif, tidak mendidik, dan tidak baik untuk masyarakat.


Polisi Bidik Pengguna Media Sosial Penyebar Rush Money

23 November 2016

Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar berinteraksi dengan warga usai menghadiri kegiatan Tabligh Akbar di Masjid Jamie Al Riyadh di Senen, Jakarta Pusat, 20 November 2016. Tempo/Rezki A.
Polisi Bidik Pengguna Media Sosial Penyebar Rush Money

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan polisi sudah melacak pelaku penyebar isu rush money.


Lawan Rush Money, BNI : Nasabah Sudah Biasa Cashless

23 November 2016

Mahasiswa berdemo menuntut proses hukum kepada Gubernur DKI Jakarta, Ahok, di depan Istana Negara, Jakarta, 4 November 2016. TEMPO/Subekti.
Lawan Rush Money, BNI : Nasabah Sudah Biasa Cashless

Rush money dinilai percuma karena nasabah sudah terbiasa dengan layanan perbankan digital.


Isu Rush Money, Seperti Ini Antisipasi BCA  

23 November 2016

Menara Bank Central Asia (BCA. TEMPO/Aditia Noviansyah
Isu Rush Money, Seperti Ini Antisipasi BCA  

Isu rush money tidak berdasar dan tidak perlu ditanggapi berlebihan.


OJK: Pertumbuhan Ekonomi Baik Tak Mungkin Ada Rush Money  

22 November 2016

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida, di sela acara Indonesia Global Sharia Fund, di Grand Hyatt, Jakarta, 14 Juni 2016. Tempo/Ghoida Rahmah
OJK: Pertumbuhan Ekonomi Baik Tak Mungkin Ada Rush Money  

Menurut Nurhaida, jika dikaitkan dengan kondisi market dan fundamental perekonomian Indonesia saat ini, rush money tidak mungkin terjadi.


Heboh Isu Rush Money di Perbankan, Siapa yang Bermain?  

22 November 2016

Ilustrasi mata uang rupiah . REUTERS/Beawiharta
Heboh Isu Rush Money di Perbankan, Siapa yang Bermain?  

Ekonom yang juga mantan Rektor Universitas Islam Indonesia, Edy Suwandi Hamid, menanggapi soal rush money. Menurut dia, masyarakat tak perlu khawatir.


Isu Rush Money, LPS Minta Penyebarannya Diusut Tuntas  

22 November 2016

TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Isu Rush Money, LPS Minta Penyebarannya Diusut Tuntas  

LPS meminta kasus penyebaran isu ajakan penarikan uang massal (rush money) yang banyak beredar di media sosial diusut tuntas.