Dari dulu masalah calo listrik tidak bisa diselesaikan. Sudah terlalu banyak broker atau makelar dalam suatu proyek listrik. Negara ditipu habis-habisan. Dampaknya adalah tarif listrik kita makin lama makin tinggi.
Jika Presiden Joko Widodo, pada saat meresmikan dua pembangkit listrik tenaga panas bumi di Minahasa dan Lampung, Selasa lalu, mengeluhkan tarif listrik kita yang jauh lebih mahal dibanding di negara lain, itu bukan barang baru. Selama ini kita kurang keras memerangi para calo listrik.
Modus percaloan ini selalu sama. Mereka mengikuti tender proyek pembangkit listrik. Namun, setelah menang, kontraknya diperjualbelikan. Para calo itu memang tidak punya modal dan pengalaman membangun pembangkit listrik. Jadinya, mata rantai pembuatan pembangkit listrik menjadi panjang. Urusan mempercepat ketersediaan lahan saja melibatkan banyak tangan. Begitu juga pembuatan pembangkit energi baru-terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan pengembangan pusat listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geotermal.
Jelas hal ini menjadi penghambat program listrik nasional Joko Widodo. Seperti kita ketahui, ia memiliki ambisi merealisasi megaproyek 35 ribu MW, dan ditargetkan rampung pada 2019. Sepanjang 2014-2019, pemerintah berencanabersama PLN dan swastamembangun 109 pembangkit, terdiri atas 35 proyek oleh PLN dan 74 proyek oleh swasta.
Berdasarkan data PLN, hingga triwulan pertama 2016 kapasitas pembangkit yang sudah dibangun baru mencapai 397 MW, atau masih 1,1 persen dari seluruhnya. Berhasilnya PLTP Lahendong di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, memiliki unit baru, yakni Unit 5 dan Unit 6, serta PLTP Ulubelu, Lampung, memiliki Unit 3, yang baru diresmikan Jokowi, masih belum memenuhi target yang ditentukan tahun ini.
PLN memang terlihat makin membenahi manajemen dalam dirinya. Tender, misalnya, sudah ditransparansikan melalui lelang online. Tapi bukan berarti para calo tak bisa bermain. Data investor yang jadi pemenang lelang harus diperiksa lagi. Jangan kecolongan masuknya sembarang investor.
Pengawasan yang kendur membuat tender PLN hanya jadi pasar gelap surat izin. Semua makelar menaikkan harga, bersaing dalam bid/offer, tapi kemudian proyek berujung mangkrak. Lihatlah bagaimana menyedihkannya 34 pembangkit tenaga listrik yang jadi bagian dari Fast Track Program 10 ribu MW tahap I yang kini hancur sarananya karena terbengkalai.
Karena itu, pemerintah harus membuat perda yang mengatur pembebasan lahan untuk proyek pembangkit listrik sebagai payung hukum yang bisa memberikan sanksi tegas bagi oknum percaloan. Bila pemenang lelang sudah menandatangani power purchase agreement (PPA) namun tidak ada pembangunan proyek listrik dalam periode enam bulan, PLN bisa mencabut konsesi pembangkit listrik. Kalau Jokowi ingin merealisasi mimpi tarif listrik murah dan seluruh Nusantara tak lagi byar-pet pada 2019, usut tuntas para mafia proyek listrik ini.